Sepasang ubi menjadi penutup malam.
Di atas piring usang berbumbu garam.
Ubi, menjadikan perut menghentikan alaramnya.
Di sela-sela waktu yang beringsut, si miskin makan dengan lahapnya.
Baginya nasi adalah mewah
Namun, ubi cukup menjadikannya keluarga semakin renyah
Karena ubi mengajarkan hidup dengan prihatin, bukan yang serba wah.
Diam bukan berarti kalah atau menyerah, tetapi sedang lelah pada hati yang terus berbelah.
Kamis, 06 Juni 2013
Rabu, 05 Juni 2013
Selamat Tidur, Tuan.
Selamat tidur, Tuan.
Semoga pikiranmu membawa tubuhmu ke alam mimpi.
Semoga gelisah hatimu redup pelan-pelan.
Selamat tidur, Tuan.
Malam akan segera melonjak dalam pekat.
Cepat tidur, tubuh tabahmu sudah mulai ronta dengan kelelahan.
Semoga pikiranmu membawa tubuhmu ke alam mimpi.
Semoga gelisah hatimu redup pelan-pelan.
Selamat tidur, Tuan.
Malam akan segera melonjak dalam pekat.
Cepat tidur, tubuh tabahmu sudah mulai ronta dengan kelelahan.
Perempuan Berkerudung Hitam
Perempuan berkerudung hitam duduk dengan gelisah di beranda.
Lilitan tasbih tergengam di jemari mungilnya.
Aku memperhatikan.
Gundah gulana sepertinya sedang menyelimuti kalbu.
Tercium aroma sendu.
Gerangan apa yang membuat ia selalu memakai kerudung hitam.
Sementara air bergelimang di pipinya.
Wajahnya lusuh, kusut.
Hingga malam mengobarkan angin sepinya,
Hingga malam mempunyai celah sunyi
Hingga malam merubah warnanya menjadi semakin gelap
Hingga malam merubah remang menjadi terang kembali
Ia masih saja terduduk di beranda gelap.
Hingga pada pagi yang melonjak girang ia berkata; Ibu, aku merindumu di alam baka.
Selasa, 04 Juni 2013
Surat Cinta Pada Hujan
Sementara hujan menebarkan kenangan, geliut aroma tanah bercampur angin sepi.
Hujan sedang bersetubuh dengan kenang.
Aroma rindu yang mulai tak tertahankan bercampur aduk dengan kepedihan.
Aku lupa pada gadis berbaju biru, sebuah kolase kepedihan.
Ia selalu bersenandung dalam hati pria berbehel putih ketika hujan turun dengan kenangan.
Pada lembayung diantara rintihan hujan, kenangan mengumpulkan serpih-serpih usang.
Mengerogoti ingatan untuk bersetubuh dengan kenang.
Hujan, mengapa tatapanmu begitu nanar ketika kau sedang menebarkan kenangan?
Adakah ranting-ranting kebahagiaan yang kau tebar selain kenang yang sudah usang?
Kini tubuh hujan pun lelah pada kenangan.
Bersimponi dengan aura angin yang menghempaskan kenangan.
Mungkin cerita sudah lanjut usia, tetapi kau selalu menebarkannya melalui ingatan kenang.
Kini tubuhmu tak lagi tampak.
Terganti dengan kemarau panjang, dan pria berbehel putih itu menanti gadis berbaju biru dalam rintihan hujan yang entah kapan lagi datangnya.
Anak-anak Awan
Anak-anak awan, anak-anak zaman.
Mereka terlahir pelan-pelan dan tumbuh bagaikan
hujan rintik menjadi hujan lebat.
Anak-anak awan tumbuh bagaikan mendung yang
mengumpal lalu menghasilkan setitik demi titik menjadi hujan yang turun dengan pelan.
Sebuah tata warna dalam kehidupan, Ia menghempas
kolase kepedihan, mengrayangi kebahagiaan melalui panjatan tebing yang dibangun
tinggi oleh kekuasaan.
Mereka panjati tebing kekuasaan yang di dalamnya
sudah miskin keadilan.
Tikus-tikus memakan keju yang seharusnya mereka
bagi kepada anak awan, hak mereka.
Balon-balon ia terbangkan sebagai bentuk kebebasan
para penjilat kekuasaan.
Anak-anak awan seharusnya tumbuh disertai pelangi,
tetapi pelangi tak kunjung mereka jembatani karena petir sudah menggantikannya.
Hak-hak anak-anak awan telah dirampas oleh tikus
yang serakah.
Kita tak hanya mencintai langit, seharusnya kita
juga mencintai awan.
Bagaianakah langit akan tampak indah jika tanpa
awan?
Bagaimanakah bangsa tanpa anak-anak penerus jika
mereka tak dapatkan hak-haknya untuk belajar?
Langganan:
Postingan (Atom)