Selasa, 05 Maret 2013

Sebilah rindu dan hujan gerimis

Hujan dan rindu sama-sama memberikan sebuah jawaban. Jawaban dari kerinduan yang mendalam. Terkadang hujan datang tak memberi tau, datang begitu saja tanpa permisi dan pergi begitu saja tanpa berpamitan. Dia seenaknya datang lalu membasahi air mata, hati dan juga pilu. Buatku hujan adalah pemanis kerinduan dari seseorang yang sudah terlupakan.
 ***
Seorang pria sederhana, selalu terlihat biasa di depanku. Senyum simpulnya pun terlihat sederhana namun selalu mengundang tanda tanya. Tatapannya tajam, penuh arti dan memaksaku untuk selalu melihat gerak-gerik bola matanya.
Lalu, semua terjadi begitu nyata. Saat bibirnya yang merah merona itu mengucapkan sebuah kata-kata yang sama sekali tidak perna Ku duga. Hanya sebuah rentetan percakapan kecil, tapi aku bisa mengingatnya sampai detik ini. Deretan kata-kata kecil yang mengalir begitu saja di gendang telingaku. Seperti hujan yang selalu mengalirkan air derasnya dari langit  ke tanah yang kering kerontang, sederhana bukan? Ya, cinta memang menuntut kita untuk melakukan dari hal yang sesederhana mungkin.

Dia mengajariku banyak hal, tentang cinta yang sederhana, tentang bagaimana aku dapat mencintainya dengan baik dan tentang bagaimana aku bisa tertawa bersamanya. Aku sering menatap dalam-dalam bola matanya yang berwarna cokelat itu, tiap dia berbicara padaku, aku memperhatikan matanya. Dari pandangan matanya aku bisa melihat bagaimana dia mencintaiku, bagaimana dia memperhatikanku.

Kala itu, aku dan dia sedang keluar mencari udara segar. Dengan motor tuanya dia menjemputku untuk membawaku jalan-jalan pada senja hari, dimana keadaan awan yang masih menampakan semburat merah ke-oranye-an di ufuk baratnya. Matahari yang pelan-pelan turun seolah-olah telah diperintahkan bulan untuk kembali ke masanya. Canda dan tawa pun lenyap begitu saja ke dalam percakapan kecil kita. Saat itu kami berkunjung ke sebuah coffee shop di pinggir jalan raya, entah apa nama jalan itu aku tak bisa mengingatnya. Kami bercakap-cakap di dalam cafe itu, sampai pada akhirnya kami lupa waktu.

Pukul sembilan malam kami pun pulang, namun di tengah jalan tiba-tiba hujan menguyur begitu saja.
Hujan menguyur basah badan kami, sampai pada akhirnya kami menyerah untuk tidak melanjutkan perjalanan. Di depan sekolah kami berteduh dari derasnya air hujan. Sampai pada suatu ketika perkataan itu keluar dari bibir mungilnya.

“Kamu kedinginan? Pakailah jaketku ini.”
“Ah tidak usah, nanti kamu pakai apa? Kamu hanya memakai kaos kan?”
“Tidak apa-apa ini untukmu, aku takut nanti kau sakit.”
“Ya sudahlah terserah kamu saja.”
“Duduklah di motorku agar kamu tidak terkena hujan.”
“Tidak aku disini saja, aku aman kok disini.”
Entah dia sebegitu perhatiannya denganku hari itu, aku tidak tau tapi aku merasa nyaman sekali diperhatikan olehnya.

Lalu kata-kata yang sungguh tak terduga itu akhirnya muncul, dia berkata bahwa dia mencintaiku. Sederhana sekali, dia mengatakannya dalam hujan. Hujan yang rintik-rintik membasahi tubuh mungil kita. Saat itu juga hatiku berdebar tak karuan, berkecamuk dengan bagian anatomi tubuhku yang lainnya. Mata kecilku menunduk ke bawah karena malu, lalu pada akhirnya aku mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Sejak saat itulah aku menyukai hujan. Hujan mengingatkan pada sebuah kerinduan yang mendalam, mengingatkan kepada seseorang yang saat ini menghilang dan terlupakan.

Oh ya, sudah dua bulan aku tak mengabarinya. Apakah kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu? Ah sudalah tidak perlu dijawab! Aku tidak mau mendengar jawabanmu yang sedingin es itu. Kau tak ingat lagi pada hujan gerimis itu, saat kau meletakan jaket kerinduanmu untuk menghangatkan tubuh kecilku, yang hatinya sudah tercabik-cabik oleh sebuah pisau pilu darimu.

Sudahlah, aku hanya rindu. Itu saja. Sederhana bukan? Rindu memang selalu sederhana bila diucapkan. Sama seperti yang kau ajarkan kepadaku, dulu, tentang cinta yang sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar