Sebuah cangkir dan poci yang terbuat dari tanah liat kusandingkan
bersama teh bubuk dan gula batu. Wangi melati perlahan menari di udara.
Dalam setiap hirup kurasakan nyaman, dari tegukan demi tegukan yang
melewati kerongkongan. Sedikit asam dan pahit berpadu dengan manis yang
samar-samar. Kemudian, satu persatu rekaman cerita bermain dalam
kepalaku. Terselip cerita lama yang harus kubuka kembali dari sebuah
permintaan.
Hai langit, pria itu kembali muncul dalam pandanganku lagi. Pria yang
seharusnya sudah kulupakan sejak empat tahun yang lalu. Dia mulai
menampakan hatinya lagi. Hati yang dulu pernah singgah dalam singgasana
cintaku. Pria yang dulu selalu bertahta untuk menguasai kerajaan
cintaku.
Kini, dia mengenggam tanganku lagi, jemari-jemarinya menyelipkan ke
dalam celah-celah rongga jemari tanganku. Lagi-lagi dia bercerita
tentang kita yang dulu. Kita yang sebenarnya tidak pernah ada. Kita yang
sebabkan luka namun tak pernah mengobati satu sama lain. Tawanya memang
masih serenyah dulu, pandangan matanya masih setajam belati cintanya.
Namun, dalam pandanganku semuanya sudah lain. Aku menengadahkan
wajah, Ku tatap bola matanya dalam-dalam tetap saja semuanya sudah
berbeda. Ketika dia mengatakan sebuah permintaan yang tidak pernah Ku
duga; dia menginginkan aku menjadi ratu penguasa hatinya. Lalu, aku
membuka kembali sebuah cerita lama, yang dahulu benar-benar pahit.
Sesosok yang dahulu tak pernah berikan aku jawaban ketika aku memintanya
untuk menjadi raja cintaku yang benar-benar nyata.
Sekarang, satu persatu rekaman cerita pahit bermain dalam kepalaku.
Entah apa yang harus Ku perbuat terhadap sebuah permintaan itu, semuanya
sudah berbeda. Kamu terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar