Kita
kalah. Sudah terlalu kalah dan lelah. Bukan kita menyerah tapi kita
memang sudah kalah, Tuan. Kita sama-sama sudah kalah pada suatu organ
tubuh kita yang paling rentan dan sensitive; hati. Cerita lama kita yang
sebabkan kekalahan itu ada. Kita kalah karena apa? Masa lalu kita? Iya,
pada akhirnya kita masih bernafas pada sebuah masa lalu yang kelam,
membuat kita tenggelam pada jurang yang dalam. Kamu masih terpaku pada
seseorang di masa lalumu, dan aku pun begitu. Masa lalu yang kini
mengabaikan kita, berusaha lupa tapi tak bisa. Iya, aku masih duduk pada
ruang masa lalu, tapi ketahuilah Tuan aku tak sepenuhnya mengunjungi
ruang masa laluku, karena aku tau ruangan itu sudah gelap. Tuan rumah
yang ada di ruangan itu sudah mematikan lampu penerangannya. Dan aku pun
tau, ada ruangan yang lebih terang daripada itu.
Tuan,
taukah ruangan yang lebih terang itu apa? Ruang hatimu Tuan. Walaupun
sesekali aku masih mengunjungi ruangan yang sudah gelap, ruangan yang
terang adalah tujuanku melangkah. Aku mencoba melangkahkan kakiku agar
aku tak terpeleset lagi. Ruangan yang gelap itu masih menjadi
bayang-bayang tidur lelapku. Iya, kamu juga mengalami seperti itu kan
Tuan? Pada masa lalumu yang hampir sama dengan masa laluku. Aku masih
mengingat kata-katamu ketika kita mengungkit ini, “Bagaimana jika kita
saling intropeksi dahulu?” katamu dengan suara parau. “Aku intropeksi
diri, kamu juga intropeksi diri.”
Inikah
yang disebut takdir? Tuan, haruskah kita berpeluh pada masa lalu kita
masing-masing? Takdir selalu seperti ini bukan? Tanpa laporan dan ucapan
permisi Ia datang menerjang tiap orang yang diinginkannya. Lalu,
pantaskah kita mengeluh? Tidak. Ini sudah jalannya bukan? Untuk apa
mengeluh pada takdir? Katamu hanya waktu yang bisa menjawabnya, tidak
Tuan. Bukan seperti itu, yang bisa menjawab adalah diri kamu sendiri,
waktu hanya sebagai alat perantara untuk menjawab semuanya.
Kita
memang sudah kalah Tuan, kita tak mungkin bersama. Kekalahan kita
berada di titik yang sama. Dua insan tidak akan menyatu jika kita
mempunyai titik kekalahan yang sama. Bukankah nanti kita akan disebut
pelarian saja? Cukup Tuan, kita benar-benar bodoh untuk masalah cinta.
Aku terlalu bodoh untuk bisa memalingkan kamu dari masa lalumu, dan kamu
juga terlalu bodoh untuk memalingkanku dari masa laluku untuk
sepenuhnya. Tapi, bodoh tak selamanya buruk. Justru kebodohanlah yang
menciptakan keterangan dalam kegelapan, terlihat memesona dalam
ketersesatan. Hanya saja kita tak bisa mengartikan kebodohan kita, Tuan.
Tuan,
masih tahankah kamu berjuang pada masa lalumu yang sudah berdarah-darah
begitu? Kamu bukan tahanan dari masa lalumu itu bukan? Tuan, akankah
kamu terus-terusan masuk ke dalam terowongan yang tak punya ujung?
Akankah kamu terus-terusan masuk ke dalam lingkaran yang tak kaukenali
di setiap ujung-ujungnya? Akankah kamu cukup bangga dengan kekalahan
tanpa perlombaan yang tak pasti? Kalau aku tidak, Tuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar