Selasa, 05 Maret 2013

Kekalahan

 

Kita kalah. Sudah terlalu kalah dan lelah. Bukan kita menyerah tapi kita memang sudah kalah, Tuan. Kita sama-sama sudah kalah pada suatu organ tubuh kita yang paling rentan dan sensitive; hati. Cerita lama kita yang sebabkan kekalahan itu ada. Kita kalah karena apa? Masa lalu kita? Iya, pada akhirnya kita masih bernafas pada sebuah masa lalu yang kelam, membuat kita tenggelam pada jurang yang dalam. Kamu masih terpaku pada seseorang di masa lalumu, dan aku pun begitu. Masa lalu yang kini mengabaikan kita, berusaha lupa tapi tak bisa. Iya, aku masih duduk pada ruang masa lalu, tapi ketahuilah Tuan aku tak sepenuhnya mengunjungi ruang masa laluku, karena aku tau ruangan itu sudah gelap. Tuan rumah yang ada di ruangan itu sudah mematikan lampu penerangannya. Dan aku pun tau, ada ruangan yang lebih terang daripada itu.

Tuan, taukah ruangan yang lebih terang itu apa? Ruang hatimu Tuan. Walaupun sesekali aku masih mengunjungi ruangan yang sudah gelap, ruangan yang terang adalah tujuanku melangkah. Aku mencoba melangkahkan kakiku agar aku tak terpeleset lagi. Ruangan yang gelap itu masih menjadi bayang-bayang tidur lelapku. Iya, kamu juga mengalami seperti itu kan Tuan? Pada masa lalumu yang hampir sama dengan masa laluku. Aku masih mengingat kata-katamu ketika kita mengungkit ini, “Bagaimana jika kita saling intropeksi dahulu?” katamu dengan suara parau. “Aku intropeksi diri, kamu juga intropeksi diri.”
Inikah yang disebut takdir? Tuan, haruskah kita berpeluh pada masa lalu kita masing-masing? Takdir selalu seperti ini bukan? Tanpa laporan dan ucapan permisi Ia datang menerjang tiap orang yang diinginkannya. Lalu, pantaskah kita mengeluh? Tidak. Ini sudah jalannya bukan? Untuk apa mengeluh pada takdir? Katamu hanya waktu yang bisa menjawabnya, tidak Tuan. Bukan seperti itu, yang bisa menjawab adalah diri kamu sendiri, waktu hanya sebagai alat perantara untuk menjawab semuanya.
Kita memang sudah kalah Tuan, kita tak mungkin bersama. Kekalahan kita berada di titik yang sama. Dua insan tidak akan menyatu jika kita mempunyai titik kekalahan yang sama. Bukankah nanti kita akan disebut pelarian saja? Cukup Tuan, kita benar-benar bodoh untuk masalah cinta. Aku terlalu bodoh untuk bisa memalingkan kamu dari masa lalumu, dan kamu juga terlalu bodoh untuk memalingkanku dari masa laluku untuk sepenuhnya. Tapi, bodoh tak selamanya buruk. Justru kebodohanlah yang menciptakan keterangan dalam kegelapan, terlihat memesona dalam ketersesatan. Hanya saja kita tak bisa mengartikan kebodohan kita, Tuan. 
Tuan, masih tahankah kamu berjuang pada masa lalumu yang sudah berdarah-darah begitu? Kamu bukan tahanan dari masa lalumu itu bukan? Tuan, akankah kamu terus-terusan masuk ke dalam terowongan yang tak punya ujung? Akankah kamu terus-terusan masuk ke dalam lingkaran yang tak kaukenali di setiap ujung-ujungnya? Akankah kamu cukup bangga dengan kekalahan tanpa perlombaan yang tak pasti? Kalau aku tidak, Tuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar