Adzan
Magrib terdengar syahdu memecah keheningan. Banyak orang yang
berlalu-lalang menuju ke masjid, tempat ternyaman, tersuci dan sejuk
untuk memuntahkan segala ocehan kepadaNya. Rain sedang menunggu trans
Jogja jalur 3A, Ia akan pulang malam ini. Biasanya Ia tak pernah pulang,
pekerjaannya sebagai editor selalu menyita waktu untuk tidak pulang ke
rumahnya. “Sepuluh menit lagi bus akan tiba di tempat”. kata sang
petugas penunggu selter. Rain menyempatkan untuk shalat Magrib terlebih
dahulu, Ia mencari masjid yang dekat dengan selter trans Jogja. Ketemu!
Tepat di sebelah barat bank BCA jalan Mangkubumi.
Selesai
shalat, Rain kembali pada selter tadi, berjalan menulusuri jalan
Mangkubumi. Jalanan tampak lengang, ditambah sinar senja yang masih
merona di langitnya, seorang gadis terduduk di bangku hijau depan kantor
counter XL. Rain tak sengaja melihatnya, ada rasa penasaran, entah dia
memberhentikan langkahnya untuk melihat gadis itu. Terpasang sebuah headset di
telinga kanan dan kirinya. Kepalanya menunduk, tampak sedang membaca
sebuah buku mungil yang dipegangnya, rambutnya tampak berkibas-kibas
akibat angin Mangkubumi yang berhembus kencang dan sengit. Disebelahnya,
tampak sebuah buku tulis yang berceceran di bangku hijau. Gadis ini
benar-benar unik, berkacamata dan berparas mungil, dia duduk sendirian.
Menikmati panorama langit senja yang mulai menghitam.
“Ahsudahlah,
aku harus balik ke selter secepatnya. Malam akan segera tiba dengan
kepekatannya, aku harus sampai rumah sebelum Isya.” Rain mendesah pada
hatinya sendiri.
Ia
kembali pada selter tadi, sudah ketinggalan dua bus. Tak apa, bus akan
segera tiba lima menit lagi. Rain masih terbayang-bayang oleh gadis
tadi, sepertinya dia pernah melihat dan mengenalnya, tetapi otak tak
bisa membantu merekam apa yang diinginkannya. Dalam selter itu, otak
sudah dikuasai oleh gadis kacamata tadi, perasaan mulai tidak tenang dan
membuncah dengan liar.
Tepat
adzan Isya berkumandang, Rain sudah sampai di rumah. Ibu sudah
menyambutnya, senyum manis mengembang dengan tulus di sudut bibir.
Menanti anaknya yang baru pulang ke rumah, Rain menatap lekat-lekat
wajah ibunya, “Ibu, tak memeluk anak laki-lakimu yang baru pulang kerja
ini?”
“Anak ibu, sudah besar begini manjanya masih kelihatan.”
“Ah Ibu, satu pelukan saja. Ya?”
Ibu dan anak saling merengkuhkan pelukan, begitu rindu yang hanya tertahan di hati kini bisa lepas dengan sebuah pelukan.
Rain
masuk ke kamarnya, merebahkan badan yang mulai renta karena digerogoti
oleh pekerjaan kantor yang selalu menumpuk. Tiba-tiba, wajah gadis tadi
bejalan-jalan kembali memenuhi pikiran, Rain kembali memikirkan gadis
kacamata yang sedang duduk di bangku hijau jalan Mangkubumi. Perasaannya
benar-benar berkecamuk, mulai tak tenang dengan gambaran wajah dari
sang gadis. “Aku seperti sudah mengenalnya, tapi siapa?” Rain bertanya
pada hatinya sendiri.
Di sudut
kamar yang dingin. Rain membuka laptopnya, hendak mengecek sebuah email
yang masuk untuk surat kabar tempat Ia bekerja. Surat pengemar,
lagi-lagi wanita misterius dengan nama Lyra mengirimkan sebuah email
untuk kolom surat pengemar di surat kabar tempat Rain bekerja. Setiap
minggu sebuah surat kabar tempat Rain bekerja selalu menerima surat dari
penggemar, entah dalam bentuk prosa, cerpen, ataupun kritik dan saran
dari pengemar. Lyra, adalah salah satu penggemar yang selalu mengirimkan
tulisannya dalam bentuk surat cinta. Surat cinta tersebut selalu
ditujukan oleh pria yang bernama Rain. Rain, entah siapa tetapi sesosok
laki-laki yang Lyra tulis disini mirip dengan ciri-ciri dirinya sendiri.
Rain selalu penasaran dengan wanita ini, fotonya wajahnya selalu
ditutupi oleh avatar yang dibuatnya sendiri. Jadi, Rain tak pernah tau
seperti apa wajah wanita yang bernama Lyra ini.
***
Hari
libur merayap dengan cepat, Rain harus kembali ke kantornya lagi.
Menyibukan diri dengan pekerjaan yang Ia geluti. Sesampainya di selter
trans Jogja jalan Mangkubumi, Ia menoleh ke arah bangku hijau yang
diduduki oleh gadis kacamata kemarin, tak ada. Bangku itu kosong, tak
ada satu orang pun yang duduk disitu.
Kantornya
tepat di depan selter, begitu Ia masuk, ruangan sudah ramai dengan para
pegawai lainnya, Ia memperhatikan setiap wajah yang tak terlalu asing
baginya. Wajah-wajah lusuh tak bersemangat, padahal masih pagi. Mungkin
mereka belum puas dengan liburan yang amat pendek.
Lagi-lagi
hari ini Rain tidak pulang ke rumah, ia harus lembur malam ini. Banyak
surat yang masuk dari penggemar, ia harus memilah-milah untuk di-edit.
Surat Lyra selalu ia cantumkan, entah hasrat apa yang muncul, Rain
selalu ingin memasukan tulisannya. Bukan karena penasaran, tapi
tulisan-tulisannya benar-benar bagus, ia bisa mengintepretasikan sebuah
kata menjadi lebih indah. “Mungkin dia anak sastra.” Rain bicara
sendiri.
Langit
mulai menunjukan semburat oranye-nya. Panorama langit senja akan segera
dimulai, tapi Rain masih sibuk dengan laptopnya. Di sudut ruangan yang
remang-remang, ia duduk di kursi kerja, wajahnya sudah mulai lusuh.
Rambutnya yang keriting tampak acak-acakan, kancing baju atasnya pun
sudah dibuka satu. Ini ciri pekerja yang sudah kelelahan. Rain akan
mencari udara segar sejenak, mencari sesuap nasi untuk dimakan malam
ini.
Begitu
keluar dari kantor Kedaulatan Rakyat, langit sudah memerah. Angin
sepoi-sepoi menari-nari di udara. Jalanan Mangkubumi yang masih lengang,
Rain berjalan menuju ke angkringan kopi joss dekat stasiun tugu. Hendak
memenuhi kewajiban mengisi perut sebelum malam tiba lebih dulu.
Sesampainya
di depan kantor XL, langkah Rain terhenti. Sesosok gadis kacamata yang
dilihatnya kemarin sedang duduk manis di bangku besi memanjang. Bangku
berwarna hijau. Kali ini dia sedang menulis, entah menulis apa di kedua
telinganya selalu terpasang sebuah hedset kecil berwarna ungu.
Rain berniat untuk mendekat, langkah kakinya berjalan menuju bangku
hijau yang diduduki oleh gadis itu. Begitu duduk, Rain menoleh ke sisi
kiri. Gadis itu sedang asyik menulis. Dari dekat gadis itu terlihat
sangat anggun, wajahnya seperti boneka Barbie.
“Hey” sebuah kata terpendek yang sederhana diucapkan oleh Rain.
Gadis
itu tak menoleh. Ia terpaku pada buku dan pena hitamnya. Lalu, Rain
menengadahkan wajahnya, melihat sang gadis yang sedang asyik menulis.
“Hey!” kata itu terlontar kembali dari mulut Rain.
“Oh, hey maaf aku tak dengar.” Sambil melepaskan hedset yang terpasang di kedua telinganya, gadis itu akhirnya menoleh ke arah Rain.
“Sendirian saja?”
“Iya.” Jawab sang gadis singkat.
“Kamu senang nongkrong disini ya tiap senja?”
“Iya, Mas. Tiap senja aku selalu duduk disini, menunggu orang yang berjanji untuk menemuiku.”
“Siapa? Pacarmu?”
“Bukan, kita tidak jelas. Merasa saling memiliki tapi kita tak tau ini apa.”
“Mengapa seperti itu?”
Tatapan matanya menyentuh bola mata Rain yang membulat, “Rasa-rasanya aku sangat mengenali bola mata itu.” Rain berbicara dalam hati.
“Dia
tak pernah memberiku sebuah kepastian, aku tak pernah tau apa yang ia
rasakan terhadapku, wanita hanya bisa menerka-nerka bukan? Dia adalah
teka-teki yang punya banyak jawaban dan tafsiran.”
“Lalu, dia berjanji apa terhadapmu?”
“Sebelum
Ia pindah di Jogja untuk bekerja, dia berjanji kepadaku. Akan
menjemputku di stasiun tugu jika aku akan berkunjung di kota ini, dan
dia berjanji akan memberikan sebuah jawaban yang selama ini hanya
menggantung di udara. Mungkin, jawaban itu adalah sebuah kepastian. Aku
selalu mengirimkan sebuah surat cinta ke kantor tempat ia bekerja, tapi
sejak setahun yang lalu surat itu tak berbalas hingga aku sampai di
Jogja untuk selalu menunggunya.
“Kamu menunggu? Selama setahun ini? Apa itu tidak terlalu bodoh? Menunggu orang yang tak pasti dan kamu sudah diabaikan begitu?”
“Apa
yang bisa kulakukan selain menunggunya? Apakah salah wanita menunggu
seseorang yang dicintainya? Apakah salah wanita tetap memperjuangkan
orang yang Ia cintai meskipun sudah terabaikan?”
“Memang sebelum pindah di Jogja, laki-lakimu itu tinggal dimana?”
“Tangerang, Mas.”
“Namanya siapa? Aku boleh tau?”
“Apa
kau lupa Rain? Aku Amora, gadis yang kauabaikan, gadis yang tiap minggu
selalu mengirim surat cinta untukmu di tempat kerjamu?”
Rain
begitu kaget mendengar pengakuan dari gadis kacamata yang ada di
sebelahnya. Ia memang tak asing jika melihat gadis ini. Tapi, ia tak
bisa mengingat siapa gadis yang sedang marah-marah ini.
“Kamu tau namaku? Apakah kamu yang bernama Lyra?”
“Iya, aku Lyra Amora, Rain. Ada apa denganmu? Kau tak ingat aku? Mengapa jadi serumit ini?”
Air mata mulai mengenang di pelipis matanya, wajahnya jadi memerah. Tampak raut kesedihan yang terpancar dari wajah mungilnya.
“Maaf,
aku memang merasa tak asing terhadapmu, tapi aku tak bisa mengingatmu
kembali. Semenjak kecelakaan setahun yang lalu aku tak bisa mengingat
orang satu persatu dengan mudah. Kepalaku terbentur oleh batu akibat
kecelakaan itu.”
“Rain, kamu amnesia?”
Air mata mulai menetes di pipi tembemnya.
“Iya, Mor. Maafkan aku tak bisa mengingatmu kembali.”
“Aku
ingin memberi tahu banyak hal kepadamu. Hal-hal yang mengganjal segenap
rongga dadaku. Tapi, percuma jika kamu tak bisa mengingatnya.”
“Maafkan
aku Amora, pelan-pelan jika kamu akan membantu mengingatkan tentang
semuanya, aku bersedia membuka hati untukmu. Aku akan terus mengenggam
tanganmu.
Air
mata yang tadinya hanya menetes menjadi mengalir dengan derasnya. Rain
yang melihat itu segera membenarkan posisi duduknya, mendekatkan
tubuhnya pada tubuh Amora. Amora bersandar pasrah di rongga dada Rain.
“Aku selalu cemas menunggumu.” Lirih tanpa riuh, suara Amora menggamit
resah. Senja yang begitu berarti kali ini, Rain jadi lupa tujuan dia
kemari untuk makan di angkringan kopi joss.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar