Selasa, 05 Maret 2013

Gadis Itu Bernama Amora

Adzan Magrib terdengar syahdu memecah keheningan. Banyak orang yang berlalu-lalang menuju ke masjid, tempat ternyaman, tersuci dan sejuk untuk memuntahkan segala ocehan kepadaNya. Rain sedang menunggu trans Jogja jalur 3A, Ia akan pulang malam ini. Biasanya Ia tak pernah pulang, pekerjaannya sebagai editor selalu menyita waktu untuk tidak pulang ke rumahnya. “Sepuluh menit lagi bus akan tiba di tempat”. kata sang petugas penunggu selter. Rain menyempatkan untuk shalat Magrib terlebih dahulu, Ia mencari masjid yang dekat dengan selter trans Jogja. Ketemu! Tepat di sebelah barat bank BCA jalan Mangkubumi. 
Selesai shalat, Rain kembali pada selter tadi, berjalan menulusuri jalan Mangkubumi. Jalanan tampak lengang, ditambah sinar senja yang masih merona di langitnya, seorang gadis terduduk di bangku hijau depan kantor counter XL. Rain tak sengaja melihatnya, ada rasa penasaran, entah dia memberhentikan langkahnya untuk melihat gadis itu. Terpasang sebuah headset di telinga kanan dan kirinya. Kepalanya menunduk, tampak sedang membaca sebuah buku mungil yang dipegangnya, rambutnya tampak berkibas-kibas akibat angin Mangkubumi yang berhembus kencang dan sengit. Disebelahnya, tampak sebuah buku tulis yang berceceran di bangku hijau. Gadis ini benar-benar unik, berkacamata dan berparas mungil, dia duduk sendirian. Menikmati panorama langit senja yang mulai menghitam.
“Ahsudahlah, aku harus balik ke selter secepatnya. Malam akan segera tiba dengan kepekatannya, aku harus sampai rumah sebelum Isya.” Rain mendesah pada hatinya sendiri.
Ia kembali pada selter tadi, sudah ketinggalan dua bus. Tak apa, bus akan segera tiba lima menit lagi. Rain masih terbayang-bayang oleh gadis tadi, sepertinya dia pernah melihat dan mengenalnya, tetapi otak tak bisa membantu merekam apa yang diinginkannya. Dalam selter itu, otak sudah dikuasai oleh gadis kacamata tadi, perasaan mulai tidak tenang dan membuncah dengan liar. 
Tepat adzan Isya berkumandang, Rain sudah sampai di rumah. Ibu sudah menyambutnya, senyum manis mengembang dengan tulus di sudut bibir. Menanti anaknya yang baru pulang ke rumah, Rain menatap lekat-lekat wajah ibunya, “Ibu, tak memeluk anak laki-lakimu yang baru pulang kerja ini?”
            “Anak ibu, sudah besar begini manjanya masih kelihatan.”
            “Ah Ibu, satu pelukan saja. Ya?”
Ibu dan anak saling merengkuhkan pelukan, begitu rindu yang hanya tertahan di hati kini bisa lepas dengan sebuah pelukan. 
Rain masuk ke kamarnya, merebahkan badan yang mulai renta karena digerogoti oleh pekerjaan kantor yang selalu menumpuk. Tiba-tiba, wajah gadis tadi bejalan-jalan kembali memenuhi pikiran, Rain kembali memikirkan gadis kacamata yang sedang duduk di bangku hijau jalan Mangkubumi. Perasaannya benar-benar berkecamuk, mulai tak tenang dengan gambaran wajah dari sang gadis. “Aku seperti sudah mengenalnya, tapi siapa?” Rain bertanya pada hatinya sendiri. 
Di  sudut kamar yang dingin. Rain membuka laptopnya, hendak mengecek sebuah email yang masuk untuk surat kabar tempat Ia bekerja. Surat pengemar, lagi-lagi wanita misterius dengan nama Lyra mengirimkan sebuah email untuk kolom surat pengemar di surat kabar tempat Rain bekerja. Setiap minggu sebuah surat kabar tempat Rain bekerja selalu menerima surat dari penggemar, entah dalam bentuk prosa, cerpen, ataupun kritik dan saran dari pengemar. Lyra, adalah salah satu penggemar yang selalu mengirimkan tulisannya dalam bentuk surat cinta. Surat cinta tersebut selalu ditujukan oleh pria yang bernama Rain. Rain, entah siapa tetapi sesosok laki-laki yang Lyra tulis disini mirip dengan ciri-ciri dirinya sendiri. Rain selalu penasaran dengan wanita ini, fotonya wajahnya selalu ditutupi oleh avatar yang dibuatnya sendiri. Jadi, Rain tak pernah tau seperti apa wajah wanita yang bernama Lyra ini.
***
            Hari libur merayap dengan cepat, Rain harus kembali ke kantornya lagi. Menyibukan diri dengan pekerjaan yang Ia geluti. Sesampainya di selter trans Jogja jalan Mangkubumi, Ia menoleh ke arah bangku hijau yang diduduki oleh gadis kacamata kemarin, tak ada. Bangku itu kosong, tak ada satu orang pun yang duduk disitu. 
Kantornya tepat di depan selter, begitu Ia masuk, ruangan sudah ramai dengan para pegawai lainnya, Ia memperhatikan setiap wajah yang tak terlalu asing baginya. Wajah-wajah lusuh tak bersemangat, padahal masih pagi. Mungkin mereka belum puas dengan liburan yang amat pendek.
Lagi-lagi hari ini Rain tidak pulang ke rumah, ia harus lembur malam ini. Banyak surat yang masuk dari penggemar, ia harus memilah-milah untuk di-edit. Surat Lyra selalu ia cantumkan, entah hasrat apa yang muncul, Rain selalu ingin memasukan tulisannya. Bukan karena penasaran, tapi tulisan-tulisannya benar-benar bagus, ia bisa mengintepretasikan sebuah kata menjadi lebih indah. “Mungkin dia anak sastra.” Rain bicara sendiri.
            Langit mulai menunjukan semburat oranye-nya. Panorama langit senja akan segera dimulai, tapi Rain masih sibuk dengan laptopnya. Di sudut ruangan yang remang-remang, ia duduk di kursi kerja, wajahnya sudah mulai lusuh. Rambutnya yang keriting tampak acak-acakan, kancing baju atasnya pun sudah dibuka satu. Ini ciri pekerja yang sudah kelelahan. Rain akan mencari udara segar sejenak, mencari sesuap nasi untuk dimakan malam ini.
Begitu keluar dari kantor Kedaulatan Rakyat, langit sudah memerah. Angin sepoi-sepoi menari-nari di udara. Jalanan Mangkubumi yang masih lengang, Rain berjalan menuju ke angkringan kopi joss dekat stasiun tugu. Hendak memenuhi kewajiban mengisi perut sebelum malam tiba lebih dulu.
Sesampainya di depan kantor XL, langkah Rain terhenti. Sesosok gadis kacamata yang dilihatnya kemarin sedang duduk manis di bangku besi memanjang. Bangku berwarna hijau. Kali ini dia sedang menulis, entah menulis apa di kedua telinganya selalu terpasang sebuah hedset kecil berwarna ungu. Rain berniat untuk mendekat, langkah kakinya berjalan menuju bangku hijau yang diduduki oleh gadis itu. Begitu duduk, Rain menoleh ke sisi kiri. Gadis itu sedang asyik menulis. Dari dekat gadis itu terlihat sangat anggun, wajahnya seperti boneka Barbie.
            “Hey” sebuah kata terpendek yang sederhana diucapkan oleh Rain.
            Gadis itu tak menoleh. Ia terpaku pada buku dan pena hitamnya. Lalu, Rain menengadahkan wajahnya, melihat sang gadis yang sedang asyik menulis.
            “Hey!” kata itu terlontar kembali dari mulut Rain.
            “Oh, hey maaf aku tak dengar.” Sambil melepaskan hedset yang terpasang di kedua telinganya, gadis itu akhirnya menoleh ke arah Rain.
            “Sendirian saja?”
            “Iya.” Jawab sang gadis singkat.
            “Kamu senang nongkrong disini ya tiap senja?”
            “Iya, Mas. Tiap senja aku selalu duduk disini, menunggu orang yang berjanji untuk menemuiku.”
            “Siapa? Pacarmu?”
            “Bukan, kita tidak jelas. Merasa saling memiliki tapi kita tak tau ini apa.”
            “Mengapa seperti itu?”
            Tatapan matanya menyentuh bola mata Rain yang membulat, “Rasa-rasanya aku sangat mengenali bola mata itu.” Rain berbicara dalam hati.
            “Dia tak pernah memberiku sebuah kepastian, aku tak pernah tau apa yang ia rasakan terhadapku, wanita hanya bisa menerka-nerka bukan? Dia adalah teka-teki yang punya banyak jawaban dan tafsiran.”
            “Lalu, dia berjanji apa terhadapmu?”
            “Sebelum Ia pindah di Jogja untuk bekerja, dia berjanji kepadaku. Akan menjemputku di stasiun tugu jika aku akan berkunjung di kota ini, dan dia berjanji akan memberikan sebuah jawaban yang selama ini hanya menggantung di udara. Mungkin, jawaban itu adalah sebuah kepastian. Aku selalu mengirimkan sebuah surat cinta ke kantor tempat ia bekerja, tapi sejak setahun yang lalu surat itu tak berbalas hingga aku sampai di Jogja untuk selalu menunggunya.
            “Kamu menunggu? Selama setahun ini? Apa itu tidak terlalu bodoh? Menunggu orang yang tak pasti dan kamu sudah diabaikan begitu?”
            “Apa yang bisa kulakukan selain menunggunya? Apakah salah wanita menunggu seseorang yang dicintainya? Apakah salah wanita tetap memperjuangkan orang yang Ia cintai meskipun sudah terabaikan?”
            “Memang sebelum pindah di Jogja, laki-lakimu itu tinggal dimana?”
            “Tangerang, Mas.”
            “Namanya siapa? Aku boleh tau?”
            “Apa kau lupa Rain? Aku Amora, gadis yang kauabaikan, gadis yang tiap minggu selalu mengirim surat cinta untukmu di tempat kerjamu?”
            Rain begitu kaget mendengar pengakuan dari gadis kacamata yang ada di sebelahnya. Ia memang tak asing jika melihat gadis ini. Tapi, ia tak bisa mengingat siapa gadis yang sedang marah-marah ini.
            “Kamu tau namaku? Apakah kamu yang bernama Lyra?”
            “Iya, aku Lyra Amora, Rain. Ada apa denganmu? Kau tak ingat aku? Mengapa jadi serumit ini?”
            Air mata mulai mengenang di pelipis matanya, wajahnya jadi memerah. Tampak raut kesedihan yang terpancar dari wajah mungilnya.
            “Maaf, aku memang merasa tak asing terhadapmu, tapi aku tak bisa mengingatmu kembali. Semenjak kecelakaan setahun yang lalu aku tak bisa mengingat orang satu persatu dengan mudah. Kepalaku terbentur oleh batu akibat kecelakaan itu.”
            “Rain, kamu amnesia?”
            Air mata mulai menetes di pipi tembemnya.
            “Iya, Mor. Maafkan aku tak bisa mengingatmu kembali.”
            “Aku ingin memberi tahu banyak hal kepadamu. Hal-hal yang mengganjal segenap rongga dadaku. Tapi, percuma jika kamu tak bisa mengingatnya.”
            “Maafkan aku Amora, pelan-pelan jika kamu akan membantu mengingatkan tentang semuanya, aku bersedia membuka hati untukmu. Aku akan terus mengenggam tanganmu.
           
Air mata yang tadinya hanya menetes menjadi mengalir dengan derasnya. Rain yang melihat itu segera membenarkan posisi duduknya, mendekatkan tubuhnya pada tubuh Amora. Amora bersandar pasrah di rongga dada Rain. “Aku selalu cemas menunggumu.” Lirih tanpa riuh, suara Amora menggamit resah. Senja yang begitu berarti kali ini, Rain jadi lupa tujuan dia kemari untuk makan di angkringan kopi joss.
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar