Selasa, 05 Maret 2013

Di Balik Cokelat Pasta

Priska yang sedang memandangi derasnya air hujan tiba-tiba dikagetkan oleh seseorang yang mempunyai suara serak-serak basah, “Mbak, hot chocolate saya mana ya?” tersentak, seketika tubuh besarnya ikut menjulang ke atas, lalu turun lagi. Dengan raut wajah yang penuh kesedihan itu Priska seakan merasa bersalah karena lupa mengantarkan hot chocolate pesanan laki-laki meja no 12. “Maaf mas, tunggu sebentar lagi ya?” Untung saja, laki-laki yang duduk di meja no 12 itu tidak protes sama sekali dengan kelalaian Priska, pemilik kedai cokelat yang terletak di jalan Colombo bernomor 45.

“Ada apa lagi Pris? Masih memikirkan pria sialanmu itu?.” Pegawai sekaligus sahabat karib Priska tiba-tiba mengomel karena kejadian barusan. Namanya Ayu, persis seperti namanya dia mempunyai wajah yang ayu dengan kelopak mata yang melengkung ke atas, menambah kecantikan yang dimiliki oleh sahabat karib Priska. “Yuk, udah deh gak usah panggil Ariya dengan sebutan pria sialan seperti itu, bagaimana pun juga dia pernah berarti dalam kehidupanku” Priska pun membela diri. “Setelah dia meninggalkanmu dengan hal yang sangat sepele, kamu masih membelanya? Terserah deh terserah, aku gak mau ribut dengan kamu. Mending sekarang anterin tuh hot chocolatenya.” Tidak mau berdebat lagi, Ayu sudah hafal betul jika sahabatnya itu sedang membela mantan pacarnya, yang meninggalkannya hanya karena tubuh Priska semakin gemuk, pasti Priska akan mati-matian membela Ariya. Itu membuat Ayu dongkol dan kepalanya hampir mengeluarkan asap panas yang meluap-luap.

Priska memang berbadan besar, sejak bulan Februari tahun lalu, entah mengapa porsi makan Priska bertambah. Pada akhirnya tubuh Priska semakin mengembang dan membentuk lipatan-lipatan di setiap tubuhnya. Itu semua membuat Ariya ilfeel, dan malu, lalu memutuskan Priska dengan se-enaknya. Namun di balik tubuh Priska yang besar, dia mempunyai wajah baby. Wajahnya bak boneka Barbie Rapunzel, dengan hidungnya yang mancung dan kulitnya yang halus lembut seperti lantai porslen. Rambutnya tergerai indah dengan balutan aroma cokelat. Priska persis seperti ibunya.
***
          Kedai cokelat milik Priska memang selalu ramai oleh pengunjung. Apalagi jika cuaca mendung dan hujan seperti ini, orang-orang selalu mampir untuk sekedar menikmati hot chocolate, menu favorit di kedai ini.
Pria bertubuh jangkung dengan mengenakan kaca mata ala Popsky Horder itu mengangkat tangan kanannya, memanggil Priska untuk memesan menu favoritnya. “Bisa saya bantu mas?” dengan ramah dan senyum simpulnya, Priska merespon panggilan dari lelaki itu. “Cokelat pasta ya? Emm sama lemon tea aja.” Lalu, Pria itu segera menutup buku menu dan menyerahkannya kepada Priska.

Sesaat ketika pria itu menutup buku menunya, terlihat wajah yang begitu teduh di mata Priska. Baru tersadar setelah pria itu menurunkan buku menu yang menutupi wajahnya. Priska benar-benar terhipnosis oleh wajah teduh itu, mata priska benar-benar terpaku pada satu pria yang ada di depannya sekarang.
“Oh my God demi apa? Aku sedang melihat malaikat yang terbuat dari cahaya kalbu! Senyumnya mungkin terbuat dari palu, hingga aku terpaku seperti ini, dan .. matanya .. oh Tuhan … itu matanya mengandung narkoba atau apa? Bikin kecanduan saja melihatnya.” Priska sibuk bercakap-cakap pada hatinya sendiri, sampai-sampai  teriakan dari Ayu pun tak digubris olehnya.

“Pris Priska? Weeyy? Haloo?” sentuhan tangan dari Ayu yang melayang ke bahu Priska baru menyadarkannya setelah beberapa menit kemudian. Laki-laki berkaca mata itu pun hanya terheran melihat tingkah laku Priska yang diam terpaku karena menatapnya.
“Ayu! Mengkagetkan saja deh.”
“Sampai kapan kamu berdiri disini? Laki-laki itu sudah dari tadi menunggu kamu pergi dan kembali membawa pesanannya!”
“Hah? Oh oh iya iya mas maaf, akan segera saya buatkan.” Dengan terbata-bata dan wajahnya yang memerah, Priska pun segera beranjak dari hadapan laki-laki itu.
“Ayu!!! Oh my God Ayu! Kamu liat kan laki-laki yang duduk di meja nomor 5 itu?”
“Hemm iya-iya, laki-laki yang membuat kamu diam terpaku di hadapannya itu kan?”
“Ah iya! Tau gak sih yuk, dia seperti malaikat yang tiba-tiba datang untuk bilik hatiku ini.” celoteh Priska yang sedang bersemangat menceritakan laki-laki berkaca mata itu kepada sahabatnya.
“So? Udah move on nih dari Ariya-mu itu?”
“Itu.. Aku belum mengerti yuk.”
“Ah sudahlah cepat antarkan tuh pesanannya!”

Tak berapa lama kemudian, Priska membawa nampan orange yang atasnya sudah terjejer dengan rapi makanan dan minuman yang dipesan oleh laki-laki meja nomor 5 tadi. Cokelat pasta, dengan balutan es krim cokelat diatasnya, ditambah bubuhan meises warna-warni yang menambah kecantikan dari menu utama di kedai cokelat ini. Di sebelah kanan cokelat pasta, berdiri sebuah gelas cantik berisikan lemon tea yang segar. Dengan senyuman, Priska mengantarkan menu yang dipesan oleh laki-laki berkaca mata itu. “Selamat menikmati menu dari kami, jika ada yang diperlukan lagi bisa panggil saya kembali.” Ujar Priska ramah sambil menampakan senyum yang dibubuhi lesung pipit di pipi tembemnya.
“Terima kasih, Priska?”
“Eh? Kok bisa tau namaku ya?”
“Tadi, bukannya kamu dipanggil oleh temanmu dengan nama Priska?”
“Oh, iya hehe itu namaku mas, kalo ada yang diperlukan panggil saja Priska.” sambil membalikkan badannya, Priska melengkungkan bibir mungilnya bak bulan sabit yang sedang tersenyum pada dunia malamnya.
“Priska?” laki-laki itu memanggilnya kembali ketika Priska sedang membalikkan badannya.
“Iya?” jawab Priska Polos.
“Dan panggil saja aku Fegy.”
***
          Priska terus membayangkan kejadian yang membuat kepalanya seperti taman bunga bermekaran, jantungnya berderap lebih kencang dari biasanya, dan hatinya seperti meletup-letupkan benih-benih cinta yang membara. “Apa iya aku sedang jatuh cinta pada pandangan pertama?” batin  Priska yang sedang memandang langit-langit kamarnya.

Malam minggu, hujan deras kembali mengguyur kota Gudeg itu lagi. Sepertinya, gemercik air hujan yang ditumpahkan oleh langit kali ini begitu banyak, sampai-sampai air mengenang di halaman depan kedai cokelat milik Priska. Seseorang yang mengenakan kaca mata ala Popsky Horder itu kembali duduk di meja nomor 5, tangan kanannya melambaikan tangan ke atas, memanggil Priska untuk memesan menu favoritnya. “Fegy, kamu datang lagi?” dengan semangat yang mengebu-gebu, Priska menyambut baik kedatangan laki-laki itu lagi. “Aku selalu kesini jika pekerjaanku sudah selesai, kamu saja yang baru menyadarinya.” jelas Fegy pada Priska.

“Oh ya? Memang kamu bekerja dimana?”
“Aku bekerja di kantor desain interior di depan kedaimu ini, tau kan?”
“Iya aku tau, tapi mengapa aku baru menyadari keberadaanmu sekarang ya? Oh ya mau pesan apa kamu?”
“Seperti biasa, cokelat pastanya ya? Minumnya hot chocolate aja.”
“Oke, sepuluh menit lagi aku akan kembali membawa pesananmu.”

Sepuluh menit tepat Priska membawakan menu pesanan Fegy yang dibawakan dengan nampan orange itu. Dengan hati-hati Priska meletakan sepiring cokelat pasta dan segelas hot chocolate di atas meja nomer 5 yang berbahan kaca marmer. Raut wajah Fegy benar-benar memukau hingga membuat tangan dan kaki Priska gemetaran. Jantung berdebar-debar, darah yang mengalir dalam peredaran tubuh pun seketika membeku dalam sekejap, membuat tubuh tak bisa bergerak dengan bebas. Apa ini?  batin Priska.
“Kamu sibuk tidak? Bisa temani aku ngobrol sebentar?” tiba-tiba suara Fegy mengagetkan Priska yang sibuk bercakap-cakap dengan hatinya sendiri.
“Emm enggak sih, pengunjung sedang tidak terlalu ramai kok.”
“Jadi kamu mau nih nemenin aku ngobrol?”
“Yap! Kenapa tidak.” Dengan semangat dan derap jantung yang semakin berdebar kencang, Priska pun duduk di depan kursi Fegy.

Udara berembus masuk ke dalam kedai dengan dinginnya, semakin dingin sampai menusuk ke tulang-tulang belakang. Dalam puluhan menit mereka dapat dengan mudah bercanda dan tertawa, bercerita tentang banyak hal, sampai-sampai waktu menunjukkan pukul 21:00. Di sudut dapur terlihat seseorang yang sedang memperhatikan mereka, dengan tidak sengaja arah pandang Priska bertemu pada mata yang begitu cantik dengan kelopak mata yang indah. Ayu, iya Ayu yang tengah memperhatikan Priska dan Fegy bercakap-cakap dengan raut wajah yang tidak enak. Dalam sekejap Priska melirik jam, sudah waktunya tutup. Ayu pasti marah.

“Sudah waktunya kedaiku tutup Gy, aku beres-beres dulu ya? Lain kali kita sambung lagi ngobrolnya.”
“Oh iya sudah Pris kalo begitu aku sekalian pamit pulang saja.”
“Okey, hati-hati di jalan.”
Priska memandangi punggung Fegy hingga punggung itu tak terlihat lagi olehnya. Benar-benar seperti mimpi, Priska baru saja mengobrol dengan orang yang membuatnya susah tidur, dengan orang yang sering membuat derap jantungnya berdetak lebih kencang tiap kali dia berhadapan dengan laki-laki itu.
***
          Priska yang tengah sibuk menyiapkan menu untuk para pelanggan tiba-tiba dikagetkan dengan sebuah deringan ponsel milik Ayu. Ponsel itu terletak di atas tas berwarna merah marun dengan gambar menara Pisa. Deringan yang tak kunjung berhenti membuat gendang telinga Priska terasa panas dan sedikit terganggu jika tidak diangkat juga, tapi pemiliknya sedang mengantarkan pesanan pelanggan di kantor sebelah. Sambil mengaduk cokelat panas, Priska meraih ponsel Samsung tipe GT-S3653 itu dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya sedang sibuk mengaduk cokelat panas yang baru dibuatnya tadi. Alhasil, ponsel didapat tapi tas bergambar menara Pisa itu terjatuh seisi-isinya. Deringan ponsel berhenti ketika ibu jari Priska akan menekan sebuah tombol hijau.

Dengan sigap Priska membereskan barang-barang yang terjatuh dari tas bergambar menara Pisa tadi. Sebuah buku nan mungil berwarna pink telah dilihatnya, buku kecil yang berlatar bercak-bercak gambar love seperti diary. Penasaran, tanpa rasa bersalah Priska membuka lembaran pertama pada buku itu, terdapat sebuah nama Ayu Hening Pramudiwari dengan sebuah foto disampingnya; foto Ayu. Ternyata memang benar buku mungil itu adalah diary Ayu. Mengetahui itu adalah barang pribadi Ayu, Priska berniat tidak membuka lagi untuk lembaran berikutnya. Namun, niat itu terurung ketika Ia melihat sebuah tulisan yang mengkagetkan hatinya. Masih pada halaman pertama, di bagian bawah kertas juga tertulis nama seseorang, tak asing. Fegy Almahera Fernanda. Tertulis sangat kecil dengan gambar love di sampingnya.

Entah pikiran apa yang terbesit saat itu, dengan gugup Priska segera membuka halaman berikutnya. Dibacanya secara perlahan-lahan sampai halaman terakhir; hari ini. Dia menulis dengan peluh dan kesah, terungkap sudah rahasia Ayu yang diam-diam mencintai Fegy. Ayu sudah mengenal Fegy lebih dulu dari pada Priska. Pertemuan mereka pun persis seperti pertemuan antara Priska dan Fegy.

Ketika cinta terlihat lebih menakutkan, karena tahu temannya sendiri pun menyukai pria yang sama. Seperti dilegam oleh batu besar, hati Priska teriris-iris oleh belati tajam dari sahabatnya sendiri. Menakutkan, sungguh. Inikah yang disebut cinta? Ketika seseorang sudah mulai membuka hatinya untuk orang lain, tapi cinta itu harus terbendung karena sesuatu yang menakutkan. “Apa yang harus ku lakukan? Baru saja aku move on tapi kenapa jadi seperti ini?” air mata mulai menggenang di pelupuk mata Priska. Tapi, masih tertahan untuk beberapa menit. Terlalu banyak hati yang tersakiti tentang perih(al) cinta. Ia membekap mulutnya. Menangis tanpa suara di balik pintu dapur yang berwarna kecokelatan itu.
***
          Hari yang melelahkan merayap dengan cepat. Setelah tahu sahabatnya sendiri menyukai pria yang sama dengan dirinya, Priska enggan bercakap-cakap dengan Ayu. Ayu sendiripun tak tahu dengan tingkah Priska yang memilih diam dan bersikap dingin padanya. Lambaian tangan Fegy juga diabaikan olehnya, pelayan lain yang akhirnya mengubris lambaian tangan Fegy. Priska benar-benar bingung dengan apa yang Ia alami sekarang ini.

Suatu ketika Priska sedang mengantarkan cokelat pasta, pesanan dari pelanggan yang asing, namanya pun tak jelas, hanya berinisial Mr.Alm. Alamatnya berada di kantor Fegy. Sesampainya di dalam kantor, Priska mencari-cari orang misterius itu. Lima menit, sepuluh menit Ia tak kunjung menemukan orang yang memesan cokelat pasta. Hingga pada akhirnya seseorang memberikan petunjuk kepada Priska, orang yang dimaksud berada di atas gedung lantai lima sekarang.

Priska menaiki tangga darurat kantor yang mempunyai gedung megah itu, karena lift sedang rusak jadi dia terpaksa menaiki tangga darurat yang amat panjang. Dengan tergopoh-gopoh rok cokelatnya ikut bergoyang saat dia berlari-lari menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan. Keringat menetes dengan derasnya di pipi tembem Priska, Ia sangat kelelahan. Dengan badannya yang besar itu, dia tetap berjuang menaiki anak tangga demi pelanggan yang memesan cokelat pasta.

“Kalo bukan demi pelanggan aku pasti tidak mau menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan ini. Benar-benar capek uh!” keluh Priska dengan kesal.
Sesampainya di atas gedung, dia melihat sesosok pria bertubuh jangkung berdiri tegap sambil membawa sebuah kertas berukuran besar. Priska tidak bisa melihat matanya dengan jelas, karena tertutup oleh kaca mata ala Popsky Hordernya. “Fegy? Jadi Mr.Alm itu Fegy? Alm itu singkatan dari Almahera?” Batin Priska yang masih belum percaya.
“Hey, kok bengong? Mana cokelat pastaku?”
“Kamu aneh, mengapa harus di tempat ini? membuatku menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan itu tau! aku kesel sama kamu!”
“Hahaha, kan biar kamu cepet kurus.” Canda Fegy menghangatkan suasana di senja hari.
“Ah yaudah aku balik aja!”
“Memang kuat? Baru saja kamu sampai masak mau turun lagi?”
“Bodo ah! Nih cokelat pastamu.”

Priska benar-benar rindu pada suara itu. Suara Fegy yang dapat menenangkan hati Priska. Tawa Fegy pun masih serenyah dahulu. Iya, Priska tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia rindu, rasanya ingin memeluk tapi tidak bisa.

Tiba-tiba Fegy mengeluarkan secarik kertas berukuran besar yang disembunyikannya dari tadi. Di dalamnya ada sebuah tulisan yang amat mengkagetkan hati Priska. I love you Priska Tamara Syelensky. Priska menyipitkan matanya, seolah-olah dia tak percaya dengan tulisan itu.

“Kalo kamu mau terima aku, kamu boleh ambil bunga ini, tapi kalo tidak kamu bisa buang bunga ini. Aku mencintaimu Priska.” ucap Fegy lembut sambil menatap hangat bola mata Priska.
Tangan Priska gemetaran, sekujur tubuhnya kaku, tidak bisa bergerak. Aliran darah yang tadinya mengalir deras pun tiba-tiba seperti berhenti. Derap jantungnya berdetak kencang, sekencang larian citah yang sedang melihat mangsanya. “Oh Tuhan aku bermimpi apa semalam? Aku juga mencintainya, tapi bagaimana dengan Ayu? Aku harus melakukan apa?”  Priska sibuk bercakap-cakap dengan hatinya sendiri.
“Atas dasar apa kamu mencintaiku? Aku kan gendut, kamu gak ilfeel sama aku?”

“Atas dasar aku mencintaimu Pris, aku tidak peduli dengan fisikmu. Kalo aku bilang cinta ya cinta!

Bukankah cinta itu harus menerima apa adanya? Bukankah cinta itu tumbuh karena alasan yang susah dijelaskan? Bahkan jika kita mencari alasan itu pun, kita gak akan pernah menemukan alasan itu kan?”

“Kamu benar Gy, iya semuanya memang benar. Tapi…,” sambil mengambil bunga yang digenggam Fegy.

“Aku… tidak bisa. Aku tidak bisa menerimamu. Selama ini aku hanya menganggapmu sebagai kakakku saja. Maaf Gy, aku benar-benar minta maaf.” Akhirnya kata-kata itu yang terpaksa keluar dari bibir Priska yang mungil. Ya, Priska membohongi dirinya sendiri dan juga Fegy demi seorang Ayu.

“Tapi, kenapa ketika kita pertama kali bertemu kamu hanya diam terpaku melihatku?” Fegy menatap Priska dengan tatapan penuh harap.

“Itu… Aku menyukai matamu, saat melihatmu ada binar ketulusan dari seorang Fegy. Tatapanmu begitu teduh saat itu. Dan, aku berharap saat itu juga aku ingin mengenalmu sebagai teman.”
“Jika kamu menyukai mataku, kenapa kamu tidak bisa mencintaiku? Bukankah cinta itu berawal dari pandangan mata yang teduh?”

“Sudahlah Gy, kamu bisa kan menghormatiku? Kita jadi teman saja yah?” Priska menahan rasa. Ia enggan untuk mengatakan yang sebenarnya, walaupun kenyataannya ada segumpal rasa campur aduk yang ingin dia ungkapkan. Tapi, Priska tak berdaya, Ia membisu di sudut tanda tanya. Hati terus meracau perih, melafalkan banyak kata yang belum terucap di bibir. Inikah saatnya untuk menghentikan derap jantung yang begitu kencang? Inikah rasanya mengorbankan perasaan demi seorang sahabat yang sangat dicintai?

Dengan satu sentakan, Fegy menarik lengan Priska. Menariknya ke dalam pelukan. Lengan mereka saling bertemu, mereka saling berpeluk. Dua sentuhan kecil yang menenangkan rasa, angin pun bersenandung sendiri. Priska bersandar pasrah di rongga dada Fegy, tempat terhangat, tempat bersandar terkokoh untuk mengubah air matanya menjadi senyum bahagia. Hanya sekali ini saja Priska mengkhianati sahabatnya, iya hanya satu pelukan ini saja dan cukup.

Kemudian, pelukan terlepas. Fegy membisikan sebuah kata ke telinga Priska. “Aku akan menunggumu hingga kau benar-benar tersadar.”  Priska mengerenyitkan dahinya. Fegy pun akhirnya pergi, kembali pada dunia kerjanya. Priska menatap punggungnya dengan hati yang sudah teriris miris, hingga punggung itu menghilang dari tatapannya. Di balik cokelat pasta yang selalu Ia buat ada memori yang terkisap manis, membuat Priska selalu gigit jari jika mengingat laki-laki yang mengenakan kaca mata ala Popsky Horder itu.
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar