Selasa, 05 Maret 2013

Di Balik Cokelat Pasta

Priska yang sedang memandangi derasnya air hujan tiba-tiba dikagetkan oleh seseorang yang mempunyai suara serak-serak basah, “Mbak, hot chocolate saya mana ya?” tersentak, seketika tubuh besarnya ikut menjulang ke atas, lalu turun lagi. Dengan raut wajah yang penuh kesedihan itu Priska seakan merasa bersalah karena lupa mengantarkan hot chocolate pesanan laki-laki meja no 12. “Maaf mas, tunggu sebentar lagi ya?” Untung saja, laki-laki yang duduk di meja no 12 itu tidak protes sama sekali dengan kelalaian Priska, pemilik kedai cokelat yang terletak di jalan Colombo bernomor 45.

“Ada apa lagi Pris? Masih memikirkan pria sialanmu itu?.” Pegawai sekaligus sahabat karib Priska tiba-tiba mengomel karena kejadian barusan. Namanya Ayu, persis seperti namanya dia mempunyai wajah yang ayu dengan kelopak mata yang melengkung ke atas, menambah kecantikan yang dimiliki oleh sahabat karib Priska. “Yuk, udah deh gak usah panggil Ariya dengan sebutan pria sialan seperti itu, bagaimana pun juga dia pernah berarti dalam kehidupanku” Priska pun membela diri. “Setelah dia meninggalkanmu dengan hal yang sangat sepele, kamu masih membelanya? Terserah deh terserah, aku gak mau ribut dengan kamu. Mending sekarang anterin tuh hot chocolatenya.” Tidak mau berdebat lagi, Ayu sudah hafal betul jika sahabatnya itu sedang membela mantan pacarnya, yang meninggalkannya hanya karena tubuh Priska semakin gemuk, pasti Priska akan mati-matian membela Ariya. Itu membuat Ayu dongkol dan kepalanya hampir mengeluarkan asap panas yang meluap-luap.

Priska memang berbadan besar, sejak bulan Februari tahun lalu, entah mengapa porsi makan Priska bertambah. Pada akhirnya tubuh Priska semakin mengembang dan membentuk lipatan-lipatan di setiap tubuhnya. Itu semua membuat Ariya ilfeel, dan malu, lalu memutuskan Priska dengan se-enaknya. Namun di balik tubuh Priska yang besar, dia mempunyai wajah baby. Wajahnya bak boneka Barbie Rapunzel, dengan hidungnya yang mancung dan kulitnya yang halus lembut seperti lantai porslen. Rambutnya tergerai indah dengan balutan aroma cokelat. Priska persis seperti ibunya.
***
          Kedai cokelat milik Priska memang selalu ramai oleh pengunjung. Apalagi jika cuaca mendung dan hujan seperti ini, orang-orang selalu mampir untuk sekedar menikmati hot chocolate, menu favorit di kedai ini.
Pria bertubuh jangkung dengan mengenakan kaca mata ala Popsky Horder itu mengangkat tangan kanannya, memanggil Priska untuk memesan menu favoritnya. “Bisa saya bantu mas?” dengan ramah dan senyum simpulnya, Priska merespon panggilan dari lelaki itu. “Cokelat pasta ya? Emm sama lemon tea aja.” Lalu, Pria itu segera menutup buku menu dan menyerahkannya kepada Priska.

Sesaat ketika pria itu menutup buku menunya, terlihat wajah yang begitu teduh di mata Priska. Baru tersadar setelah pria itu menurunkan buku menu yang menutupi wajahnya. Priska benar-benar terhipnosis oleh wajah teduh itu, mata priska benar-benar terpaku pada satu pria yang ada di depannya sekarang.
“Oh my God demi apa? Aku sedang melihat malaikat yang terbuat dari cahaya kalbu! Senyumnya mungkin terbuat dari palu, hingga aku terpaku seperti ini, dan .. matanya .. oh Tuhan … itu matanya mengandung narkoba atau apa? Bikin kecanduan saja melihatnya.” Priska sibuk bercakap-cakap pada hatinya sendiri, sampai-sampai  teriakan dari Ayu pun tak digubris olehnya.

“Pris Priska? Weeyy? Haloo?” sentuhan tangan dari Ayu yang melayang ke bahu Priska baru menyadarkannya setelah beberapa menit kemudian. Laki-laki berkaca mata itu pun hanya terheran melihat tingkah laku Priska yang diam terpaku karena menatapnya.
“Ayu! Mengkagetkan saja deh.”
“Sampai kapan kamu berdiri disini? Laki-laki itu sudah dari tadi menunggu kamu pergi dan kembali membawa pesanannya!”
“Hah? Oh oh iya iya mas maaf, akan segera saya buatkan.” Dengan terbata-bata dan wajahnya yang memerah, Priska pun segera beranjak dari hadapan laki-laki itu.
“Ayu!!! Oh my God Ayu! Kamu liat kan laki-laki yang duduk di meja nomor 5 itu?”
“Hemm iya-iya, laki-laki yang membuat kamu diam terpaku di hadapannya itu kan?”
“Ah iya! Tau gak sih yuk, dia seperti malaikat yang tiba-tiba datang untuk bilik hatiku ini.” celoteh Priska yang sedang bersemangat menceritakan laki-laki berkaca mata itu kepada sahabatnya.
“So? Udah move on nih dari Ariya-mu itu?”
“Itu.. Aku belum mengerti yuk.”
“Ah sudahlah cepat antarkan tuh pesanannya!”

Tak berapa lama kemudian, Priska membawa nampan orange yang atasnya sudah terjejer dengan rapi makanan dan minuman yang dipesan oleh laki-laki meja nomor 5 tadi. Cokelat pasta, dengan balutan es krim cokelat diatasnya, ditambah bubuhan meises warna-warni yang menambah kecantikan dari menu utama di kedai cokelat ini. Di sebelah kanan cokelat pasta, berdiri sebuah gelas cantik berisikan lemon tea yang segar. Dengan senyuman, Priska mengantarkan menu yang dipesan oleh laki-laki berkaca mata itu. “Selamat menikmati menu dari kami, jika ada yang diperlukan lagi bisa panggil saya kembali.” Ujar Priska ramah sambil menampakan senyum yang dibubuhi lesung pipit di pipi tembemnya.
“Terima kasih, Priska?”
“Eh? Kok bisa tau namaku ya?”
“Tadi, bukannya kamu dipanggil oleh temanmu dengan nama Priska?”
“Oh, iya hehe itu namaku mas, kalo ada yang diperlukan panggil saja Priska.” sambil membalikkan badannya, Priska melengkungkan bibir mungilnya bak bulan sabit yang sedang tersenyum pada dunia malamnya.
“Priska?” laki-laki itu memanggilnya kembali ketika Priska sedang membalikkan badannya.
“Iya?” jawab Priska Polos.
“Dan panggil saja aku Fegy.”
***
          Priska terus membayangkan kejadian yang membuat kepalanya seperti taman bunga bermekaran, jantungnya berderap lebih kencang dari biasanya, dan hatinya seperti meletup-letupkan benih-benih cinta yang membara. “Apa iya aku sedang jatuh cinta pada pandangan pertama?” batin  Priska yang sedang memandang langit-langit kamarnya.

Malam minggu, hujan deras kembali mengguyur kota Gudeg itu lagi. Sepertinya, gemercik air hujan yang ditumpahkan oleh langit kali ini begitu banyak, sampai-sampai air mengenang di halaman depan kedai cokelat milik Priska. Seseorang yang mengenakan kaca mata ala Popsky Horder itu kembali duduk di meja nomor 5, tangan kanannya melambaikan tangan ke atas, memanggil Priska untuk memesan menu favoritnya. “Fegy, kamu datang lagi?” dengan semangat yang mengebu-gebu, Priska menyambut baik kedatangan laki-laki itu lagi. “Aku selalu kesini jika pekerjaanku sudah selesai, kamu saja yang baru menyadarinya.” jelas Fegy pada Priska.

“Oh ya? Memang kamu bekerja dimana?”
“Aku bekerja di kantor desain interior di depan kedaimu ini, tau kan?”
“Iya aku tau, tapi mengapa aku baru menyadari keberadaanmu sekarang ya? Oh ya mau pesan apa kamu?”
“Seperti biasa, cokelat pastanya ya? Minumnya hot chocolate aja.”
“Oke, sepuluh menit lagi aku akan kembali membawa pesananmu.”

Sepuluh menit tepat Priska membawakan menu pesanan Fegy yang dibawakan dengan nampan orange itu. Dengan hati-hati Priska meletakan sepiring cokelat pasta dan segelas hot chocolate di atas meja nomer 5 yang berbahan kaca marmer. Raut wajah Fegy benar-benar memukau hingga membuat tangan dan kaki Priska gemetaran. Jantung berdebar-debar, darah yang mengalir dalam peredaran tubuh pun seketika membeku dalam sekejap, membuat tubuh tak bisa bergerak dengan bebas. Apa ini?  batin Priska.
“Kamu sibuk tidak? Bisa temani aku ngobrol sebentar?” tiba-tiba suara Fegy mengagetkan Priska yang sibuk bercakap-cakap dengan hatinya sendiri.
“Emm enggak sih, pengunjung sedang tidak terlalu ramai kok.”
“Jadi kamu mau nih nemenin aku ngobrol?”
“Yap! Kenapa tidak.” Dengan semangat dan derap jantung yang semakin berdebar kencang, Priska pun duduk di depan kursi Fegy.

Udara berembus masuk ke dalam kedai dengan dinginnya, semakin dingin sampai menusuk ke tulang-tulang belakang. Dalam puluhan menit mereka dapat dengan mudah bercanda dan tertawa, bercerita tentang banyak hal, sampai-sampai waktu menunjukkan pukul 21:00. Di sudut dapur terlihat seseorang yang sedang memperhatikan mereka, dengan tidak sengaja arah pandang Priska bertemu pada mata yang begitu cantik dengan kelopak mata yang indah. Ayu, iya Ayu yang tengah memperhatikan Priska dan Fegy bercakap-cakap dengan raut wajah yang tidak enak. Dalam sekejap Priska melirik jam, sudah waktunya tutup. Ayu pasti marah.

“Sudah waktunya kedaiku tutup Gy, aku beres-beres dulu ya? Lain kali kita sambung lagi ngobrolnya.”
“Oh iya sudah Pris kalo begitu aku sekalian pamit pulang saja.”
“Okey, hati-hati di jalan.”
Priska memandangi punggung Fegy hingga punggung itu tak terlihat lagi olehnya. Benar-benar seperti mimpi, Priska baru saja mengobrol dengan orang yang membuatnya susah tidur, dengan orang yang sering membuat derap jantungnya berdetak lebih kencang tiap kali dia berhadapan dengan laki-laki itu.
***
          Priska yang tengah sibuk menyiapkan menu untuk para pelanggan tiba-tiba dikagetkan dengan sebuah deringan ponsel milik Ayu. Ponsel itu terletak di atas tas berwarna merah marun dengan gambar menara Pisa. Deringan yang tak kunjung berhenti membuat gendang telinga Priska terasa panas dan sedikit terganggu jika tidak diangkat juga, tapi pemiliknya sedang mengantarkan pesanan pelanggan di kantor sebelah. Sambil mengaduk cokelat panas, Priska meraih ponsel Samsung tipe GT-S3653 itu dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya sedang sibuk mengaduk cokelat panas yang baru dibuatnya tadi. Alhasil, ponsel didapat tapi tas bergambar menara Pisa itu terjatuh seisi-isinya. Deringan ponsel berhenti ketika ibu jari Priska akan menekan sebuah tombol hijau.

Dengan sigap Priska membereskan barang-barang yang terjatuh dari tas bergambar menara Pisa tadi. Sebuah buku nan mungil berwarna pink telah dilihatnya, buku kecil yang berlatar bercak-bercak gambar love seperti diary. Penasaran, tanpa rasa bersalah Priska membuka lembaran pertama pada buku itu, terdapat sebuah nama Ayu Hening Pramudiwari dengan sebuah foto disampingnya; foto Ayu. Ternyata memang benar buku mungil itu adalah diary Ayu. Mengetahui itu adalah barang pribadi Ayu, Priska berniat tidak membuka lagi untuk lembaran berikutnya. Namun, niat itu terurung ketika Ia melihat sebuah tulisan yang mengkagetkan hatinya. Masih pada halaman pertama, di bagian bawah kertas juga tertulis nama seseorang, tak asing. Fegy Almahera Fernanda. Tertulis sangat kecil dengan gambar love di sampingnya.

Entah pikiran apa yang terbesit saat itu, dengan gugup Priska segera membuka halaman berikutnya. Dibacanya secara perlahan-lahan sampai halaman terakhir; hari ini. Dia menulis dengan peluh dan kesah, terungkap sudah rahasia Ayu yang diam-diam mencintai Fegy. Ayu sudah mengenal Fegy lebih dulu dari pada Priska. Pertemuan mereka pun persis seperti pertemuan antara Priska dan Fegy.

Ketika cinta terlihat lebih menakutkan, karena tahu temannya sendiri pun menyukai pria yang sama. Seperti dilegam oleh batu besar, hati Priska teriris-iris oleh belati tajam dari sahabatnya sendiri. Menakutkan, sungguh. Inikah yang disebut cinta? Ketika seseorang sudah mulai membuka hatinya untuk orang lain, tapi cinta itu harus terbendung karena sesuatu yang menakutkan. “Apa yang harus ku lakukan? Baru saja aku move on tapi kenapa jadi seperti ini?” air mata mulai menggenang di pelupuk mata Priska. Tapi, masih tertahan untuk beberapa menit. Terlalu banyak hati yang tersakiti tentang perih(al) cinta. Ia membekap mulutnya. Menangis tanpa suara di balik pintu dapur yang berwarna kecokelatan itu.
***
          Hari yang melelahkan merayap dengan cepat. Setelah tahu sahabatnya sendiri menyukai pria yang sama dengan dirinya, Priska enggan bercakap-cakap dengan Ayu. Ayu sendiripun tak tahu dengan tingkah Priska yang memilih diam dan bersikap dingin padanya. Lambaian tangan Fegy juga diabaikan olehnya, pelayan lain yang akhirnya mengubris lambaian tangan Fegy. Priska benar-benar bingung dengan apa yang Ia alami sekarang ini.

Suatu ketika Priska sedang mengantarkan cokelat pasta, pesanan dari pelanggan yang asing, namanya pun tak jelas, hanya berinisial Mr.Alm. Alamatnya berada di kantor Fegy. Sesampainya di dalam kantor, Priska mencari-cari orang misterius itu. Lima menit, sepuluh menit Ia tak kunjung menemukan orang yang memesan cokelat pasta. Hingga pada akhirnya seseorang memberikan petunjuk kepada Priska, orang yang dimaksud berada di atas gedung lantai lima sekarang.

Priska menaiki tangga darurat kantor yang mempunyai gedung megah itu, karena lift sedang rusak jadi dia terpaksa menaiki tangga darurat yang amat panjang. Dengan tergopoh-gopoh rok cokelatnya ikut bergoyang saat dia berlari-lari menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan. Keringat menetes dengan derasnya di pipi tembem Priska, Ia sangat kelelahan. Dengan badannya yang besar itu, dia tetap berjuang menaiki anak tangga demi pelanggan yang memesan cokelat pasta.

“Kalo bukan demi pelanggan aku pasti tidak mau menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan ini. Benar-benar capek uh!” keluh Priska dengan kesal.
Sesampainya di atas gedung, dia melihat sesosok pria bertubuh jangkung berdiri tegap sambil membawa sebuah kertas berukuran besar. Priska tidak bisa melihat matanya dengan jelas, karena tertutup oleh kaca mata ala Popsky Hordernya. “Fegy? Jadi Mr.Alm itu Fegy? Alm itu singkatan dari Almahera?” Batin Priska yang masih belum percaya.
“Hey, kok bengong? Mana cokelat pastaku?”
“Kamu aneh, mengapa harus di tempat ini? membuatku menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan itu tau! aku kesel sama kamu!”
“Hahaha, kan biar kamu cepet kurus.” Canda Fegy menghangatkan suasana di senja hari.
“Ah yaudah aku balik aja!”
“Memang kuat? Baru saja kamu sampai masak mau turun lagi?”
“Bodo ah! Nih cokelat pastamu.”

Priska benar-benar rindu pada suara itu. Suara Fegy yang dapat menenangkan hati Priska. Tawa Fegy pun masih serenyah dahulu. Iya, Priska tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia rindu, rasanya ingin memeluk tapi tidak bisa.

Tiba-tiba Fegy mengeluarkan secarik kertas berukuran besar yang disembunyikannya dari tadi. Di dalamnya ada sebuah tulisan yang amat mengkagetkan hati Priska. I love you Priska Tamara Syelensky. Priska menyipitkan matanya, seolah-olah dia tak percaya dengan tulisan itu.

“Kalo kamu mau terima aku, kamu boleh ambil bunga ini, tapi kalo tidak kamu bisa buang bunga ini. Aku mencintaimu Priska.” ucap Fegy lembut sambil menatap hangat bola mata Priska.
Tangan Priska gemetaran, sekujur tubuhnya kaku, tidak bisa bergerak. Aliran darah yang tadinya mengalir deras pun tiba-tiba seperti berhenti. Derap jantungnya berdetak kencang, sekencang larian citah yang sedang melihat mangsanya. “Oh Tuhan aku bermimpi apa semalam? Aku juga mencintainya, tapi bagaimana dengan Ayu? Aku harus melakukan apa?”  Priska sibuk bercakap-cakap dengan hatinya sendiri.
“Atas dasar apa kamu mencintaiku? Aku kan gendut, kamu gak ilfeel sama aku?”

“Atas dasar aku mencintaimu Pris, aku tidak peduli dengan fisikmu. Kalo aku bilang cinta ya cinta!

Bukankah cinta itu harus menerima apa adanya? Bukankah cinta itu tumbuh karena alasan yang susah dijelaskan? Bahkan jika kita mencari alasan itu pun, kita gak akan pernah menemukan alasan itu kan?”

“Kamu benar Gy, iya semuanya memang benar. Tapi…,” sambil mengambil bunga yang digenggam Fegy.

“Aku… tidak bisa. Aku tidak bisa menerimamu. Selama ini aku hanya menganggapmu sebagai kakakku saja. Maaf Gy, aku benar-benar minta maaf.” Akhirnya kata-kata itu yang terpaksa keluar dari bibir Priska yang mungil. Ya, Priska membohongi dirinya sendiri dan juga Fegy demi seorang Ayu.

“Tapi, kenapa ketika kita pertama kali bertemu kamu hanya diam terpaku melihatku?” Fegy menatap Priska dengan tatapan penuh harap.

“Itu… Aku menyukai matamu, saat melihatmu ada binar ketulusan dari seorang Fegy. Tatapanmu begitu teduh saat itu. Dan, aku berharap saat itu juga aku ingin mengenalmu sebagai teman.”
“Jika kamu menyukai mataku, kenapa kamu tidak bisa mencintaiku? Bukankah cinta itu berawal dari pandangan mata yang teduh?”

“Sudahlah Gy, kamu bisa kan menghormatiku? Kita jadi teman saja yah?” Priska menahan rasa. Ia enggan untuk mengatakan yang sebenarnya, walaupun kenyataannya ada segumpal rasa campur aduk yang ingin dia ungkapkan. Tapi, Priska tak berdaya, Ia membisu di sudut tanda tanya. Hati terus meracau perih, melafalkan banyak kata yang belum terucap di bibir. Inikah saatnya untuk menghentikan derap jantung yang begitu kencang? Inikah rasanya mengorbankan perasaan demi seorang sahabat yang sangat dicintai?

Dengan satu sentakan, Fegy menarik lengan Priska. Menariknya ke dalam pelukan. Lengan mereka saling bertemu, mereka saling berpeluk. Dua sentuhan kecil yang menenangkan rasa, angin pun bersenandung sendiri. Priska bersandar pasrah di rongga dada Fegy, tempat terhangat, tempat bersandar terkokoh untuk mengubah air matanya menjadi senyum bahagia. Hanya sekali ini saja Priska mengkhianati sahabatnya, iya hanya satu pelukan ini saja dan cukup.

Kemudian, pelukan terlepas. Fegy membisikan sebuah kata ke telinga Priska. “Aku akan menunggumu hingga kau benar-benar tersadar.”  Priska mengerenyitkan dahinya. Fegy pun akhirnya pergi, kembali pada dunia kerjanya. Priska menatap punggungnya dengan hati yang sudah teriris miris, hingga punggung itu menghilang dari tatapannya. Di balik cokelat pasta yang selalu Ia buat ada memori yang terkisap manis, membuat Priska selalu gigit jari jika mengingat laki-laki yang mengenakan kaca mata ala Popsky Horder itu.
END

Sebilah rindu dan hujan gerimis

Hujan dan rindu sama-sama memberikan sebuah jawaban. Jawaban dari kerinduan yang mendalam. Terkadang hujan datang tak memberi tau, datang begitu saja tanpa permisi dan pergi begitu saja tanpa berpamitan. Dia seenaknya datang lalu membasahi air mata, hati dan juga pilu. Buatku hujan adalah pemanis kerinduan dari seseorang yang sudah terlupakan.
 ***
Seorang pria sederhana, selalu terlihat biasa di depanku. Senyum simpulnya pun terlihat sederhana namun selalu mengundang tanda tanya. Tatapannya tajam, penuh arti dan memaksaku untuk selalu melihat gerak-gerik bola matanya.
Lalu, semua terjadi begitu nyata. Saat bibirnya yang merah merona itu mengucapkan sebuah kata-kata yang sama sekali tidak perna Ku duga. Hanya sebuah rentetan percakapan kecil, tapi aku bisa mengingatnya sampai detik ini. Deretan kata-kata kecil yang mengalir begitu saja di gendang telingaku. Seperti hujan yang selalu mengalirkan air derasnya dari langit  ke tanah yang kering kerontang, sederhana bukan? Ya, cinta memang menuntut kita untuk melakukan dari hal yang sesederhana mungkin.

Dia mengajariku banyak hal, tentang cinta yang sederhana, tentang bagaimana aku dapat mencintainya dengan baik dan tentang bagaimana aku bisa tertawa bersamanya. Aku sering menatap dalam-dalam bola matanya yang berwarna cokelat itu, tiap dia berbicara padaku, aku memperhatikan matanya. Dari pandangan matanya aku bisa melihat bagaimana dia mencintaiku, bagaimana dia memperhatikanku.

Kala itu, aku dan dia sedang keluar mencari udara segar. Dengan motor tuanya dia menjemputku untuk membawaku jalan-jalan pada senja hari, dimana keadaan awan yang masih menampakan semburat merah ke-oranye-an di ufuk baratnya. Matahari yang pelan-pelan turun seolah-olah telah diperintahkan bulan untuk kembali ke masanya. Canda dan tawa pun lenyap begitu saja ke dalam percakapan kecil kita. Saat itu kami berkunjung ke sebuah coffee shop di pinggir jalan raya, entah apa nama jalan itu aku tak bisa mengingatnya. Kami bercakap-cakap di dalam cafe itu, sampai pada akhirnya kami lupa waktu.

Pukul sembilan malam kami pun pulang, namun di tengah jalan tiba-tiba hujan menguyur begitu saja.
Hujan menguyur basah badan kami, sampai pada akhirnya kami menyerah untuk tidak melanjutkan perjalanan. Di depan sekolah kami berteduh dari derasnya air hujan. Sampai pada suatu ketika perkataan itu keluar dari bibir mungilnya.

“Kamu kedinginan? Pakailah jaketku ini.”
“Ah tidak usah, nanti kamu pakai apa? Kamu hanya memakai kaos kan?”
“Tidak apa-apa ini untukmu, aku takut nanti kau sakit.”
“Ya sudahlah terserah kamu saja.”
“Duduklah di motorku agar kamu tidak terkena hujan.”
“Tidak aku disini saja, aku aman kok disini.”
Entah dia sebegitu perhatiannya denganku hari itu, aku tidak tau tapi aku merasa nyaman sekali diperhatikan olehnya.

Lalu kata-kata yang sungguh tak terduga itu akhirnya muncul, dia berkata bahwa dia mencintaiku. Sederhana sekali, dia mengatakannya dalam hujan. Hujan yang rintik-rintik membasahi tubuh mungil kita. Saat itu juga hatiku berdebar tak karuan, berkecamuk dengan bagian anatomi tubuhku yang lainnya. Mata kecilku menunduk ke bawah karena malu, lalu pada akhirnya aku mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Sejak saat itulah aku menyukai hujan. Hujan mengingatkan pada sebuah kerinduan yang mendalam, mengingatkan kepada seseorang yang saat ini menghilang dan terlupakan.

Oh ya, sudah dua bulan aku tak mengabarinya. Apakah kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu? Ah sudalah tidak perlu dijawab! Aku tidak mau mendengar jawabanmu yang sedingin es itu. Kau tak ingat lagi pada hujan gerimis itu, saat kau meletakan jaket kerinduanmu untuk menghangatkan tubuh kecilku, yang hatinya sudah tercabik-cabik oleh sebuah pisau pilu darimu.

Sudahlah, aku hanya rindu. Itu saja. Sederhana bukan? Rindu memang selalu sederhana bila diucapkan. Sama seperti yang kau ajarkan kepadaku, dulu, tentang cinta yang sederhana.

Kemudian, satu persatu rekaman cerita bermain dalam kepalaku; terselip cerita lama yang harus kubuka kembali dari sebuah permintaan.

Sebuah cangkir dan poci yang terbuat dari tanah liat kusandingkan bersama teh bubuk dan gula batu. Wangi melati perlahan menari di udara. Dalam setiap hirup kurasakan nyaman, dari tegukan demi tegukan yang melewati kerongkongan. Sedikit asam dan pahit berpadu dengan manis yang samar-samar. Kemudian, satu persatu rekaman cerita bermain dalam kepalaku. Terselip cerita lama yang harus kubuka kembali dari sebuah permintaan.

Hai langit, pria itu kembali muncul dalam pandanganku lagi. Pria yang seharusnya sudah kulupakan sejak empat tahun yang lalu. Dia mulai menampakan hatinya lagi. Hati yang dulu pernah singgah dalam singgasana cintaku. Pria yang dulu selalu bertahta untuk menguasai kerajaan cintaku.
Kini, dia mengenggam tanganku lagi, jemari-jemarinya menyelipkan ke dalam celah-celah rongga jemari tanganku. Lagi-lagi dia bercerita tentang kita yang dulu. Kita yang sebenarnya tidak pernah ada. Kita yang sebabkan luka namun tak pernah mengobati satu sama lain. Tawanya memang masih serenyah dulu, pandangan matanya masih setajam belati cintanya.

Namun, dalam pandanganku semuanya sudah lain. Aku menengadahkan wajah, Ku tatap bola matanya dalam-dalam tetap saja semuanya sudah berbeda. Ketika dia mengatakan sebuah permintaan yang tidak pernah Ku duga; dia menginginkan aku menjadi ratu penguasa hatinya. Lalu, aku membuka kembali sebuah cerita lama, yang dahulu benar-benar pahit. Sesosok yang dahulu tak pernah berikan aku jawaban ketika aku memintanya untuk menjadi raja cintaku yang benar-benar nyata.

Sekarang, satu persatu rekaman cerita pahit bermain dalam kepalaku. Entah apa yang harus Ku perbuat terhadap sebuah permintaan itu, semuanya sudah berbeda. Kamu terlambat.

Yang Paling Menyakitkan di Dunia Ini adalah; Perpisahan.

Kita tak pernah bertemu lagi, setelah kamu pergi begitu saja. Tanpa pamit yang biasa kau ucapankan kepadaku menjelang tidur malamku. Jadi, inilah saat yang tak pernah kuduga, aku tidak bisa melihat lagi senyum simpulmu yang biasa kau lontarkan saat kita tiap kali bertemu.

Sesaat ketika kita begitu jauh, saat genggaman tangan tak lagi menyentuh jemari-jemari manis yang selalu menggelitik simponi tubuhmu, ada perasaan yang bergejolak dari bilik hati. Aku mulai berpikir, kamu hanya abadi dalam hatiku saja, senyatanya kamu hanyalah bayangan semu yang selalu menggangu pikiranku.
Kita berpisah tanpa sebuah kata ‘good bye’. Ini adalah hal yang paling menyakitkan. Sungguh, aku tidak kuasa mengendalikan tangis yang hanya tertahan di hati saja. Mata tak sanggup mengalirkan air sendu yang disebabkan oleh kamu.

Sekarang, kita hanya bertemu dalam mimpi. Begitu dekat tapi sebenarnya jauh dalam pandangan mata. Hanya semu, itu pun dalam mimpiku saja. Entah bagaimana dalam mimpimu. Desah napasmu tak lagi aku rasakan, senyummu tak terlihat berbinar di mataku lagi. Ya, kamu yang disana jauh dari lamunanku.

Untuk seseorang yang berada jauh dalam pandangan mataku, namun begitu lekat dalam ingatanku; maukah kau bertemu denganku lagi? sekalipun hanya mengatakan sebuah kata-kata ‘good bye’ untukku? agar aku bisa tenang menjalani hidupku yang terlalu semu seperti ini?

Cinta, Aku dan Pedih

Laki-laki datang atas nama cinta. Dia bagaikan pupuk yang bertugas menyirami bunga layu. Bunga yang tengah dirandang hama jahat. Seseorang bernama aku sedang mengkatup hatinya serapat mungkin. Sangat kaku, tidak bisa dibuka. Mentari pun tak sanggup melumerkan hatinya. Iya, dia yang ditinggal oleh laki-laki bernama pedih. Laki-laki yang sangat aku perjuangkan. Lalu, cinta datang memberikan pupuk kepada bunga yang layu. Cinta memberikan aku sebuah kenyamanan, melupakan sejenak tentang pedih.

Cinta begitu berbeda, dia menyuruh aku untuk membuka hati. Hati yang terlanjur dikatup karena pedih. Perlahan-lahan aku mulai mengenal cinta, perlahan-lahan cinta menyelusup ke ambang pintu hatinya. Cinta mengubah aku menjadi seseorang yang lebih mudah tersenyum dalam hari-harinya.  Cinta yang membuat presepsi bahwa aku bisa melupakan pedih. Dia selalu menyuruh aku untuk membuka hati. Cinta sudah membawa kunci, dan bersiap masuk ke dalam ruang hati aku.  Ya, perlahan-lahan si aku membuka hatinya untuk cinta, meskipun belum selebar daun kelor.

Tapi, tiba-tiba cinta menggoreskan sebuah luka. Oh, bukan. Bukan menggoreskan tapi, dia berubah. Cinta berubah menjadi sesosok yang jauh dari lamunan. Dia tak pernah lagi menyuruh aku untuk membuka hati, dia tak pernah membuat aku tersenyum lagi. Dia menghilang. Menjauh dari aku. Kemudian, aku berpikir cinta mungkin sudah menemukan tambatan hatinya yang lebih tepat dari aku.

Mengapa harus seperti ini? ketika aku berniat untuk membuka hati, goresan itu kembali melukai. Melukai anatomi tubuh aku yang paling rentan; hati. Aku pun enggan membuka hati, daun pintu yang sudah terbuka kembali ditutup oleh aku. Aku menagis sambil membekap mulutnya. Hatinya merasakan perih, seperti di hujam oleh belati tajam. Bagaimana tidak? Cinta tak lebih dari pedih, mereka sama. Sama-sama menyakitkan. Si aku tidak akan membuka hatinya lagi sampai lukanya benar-benar tak berbekas, sampai dia benar-benar pulih untuk merasakan kembali kasih yang tulus dari seseorang yang tepat baginya.

Tuan dan Nona di Bulan Januari

Tuan, taukah kamu? Aku mulai berani menulis tentangmu ketika aku yakin bahwa kamu bukan hanya sekedar obsesi cintaku, bahwa kamu bukan rasa kagum yang meluap-luap di hatiku. Aku mulai menulis ini karena aku yakin, rasa sesak yang ada di hatiku ini adalah rasa cinta yang beradu kencang di dalam dada. Rasa sesak yang aku rasakan adalah rasa cinta yang selama ini aku pendam.

Kalau Tuan membaca ini pasti Tuan akan terpingkal-pingkal. Baiklah kalo boleh jujur, semenjak bulan November lalu Tuan telah membuka hatiku yang terlanjur dikatup oleh seseorang. Tuan menjadi kunci emas yang sudah siap membuka dan mengetuk daun pintu yang sudah tertutup rapat. Tuan mulai menggangguku pikiranku, sekelebat duakelebat Tuan menjadi tamu special yang selalu datang di ruang otakku.

Tuan, aku melihat binar ketulusan dari balik kacamatamu. Iya, bulan November tahun lalu, saat kita masih melihat film bersama-sama. Tuan menjemputku dengan mobil merah, membukakan dan menutup pintu mobil untukku. Tuan tau? gadis kecil yang sering Tuan panggil Nona ini sangat terkesima dengan perilaku Tuan yang sangat sopan itu. Jujur saja, belum pernah ada pria yang memperlakukan Nona seperti itu. Adakah pria manis dengan kulit kecoklatan berkacamata seperti kamu; selain kamu?

Tapi Tuan, semua itu berubah semenjak bulan Desember lalu. Tuan telah mempunyai tambatan hatinya sendiri. Rasa sesak yang ada di dada menjelma menjadi rasa sakit yang dihujam oleh belati tajam. Nona pun memilih untuk pergi, mengalah untuk menyembuhkan luka sendirian. Meskipun Tuan tak pernah tau apa yang selama ini Nona rasakan terhadap Tuan. Apa semua pria di dunia ini seperti itu? Tidak pernah bisa menerjemahkan keadaan. Bahkan membaca situasi pun tak mampu.

Nona di bulan Januari tak seperti dulu lagi. Nona memilih untuk diam, diam agar Tuan sadar diri. Diam agar Tuan tahu diri. Jika Tuan tak bisa menerjemahkan diamku, berarti Tuan benar-benar sudah kalah. Kalah dalam hal menerjemahkan sebuah keadaan. Perlu Tuan tahu, satu hal yang diinginkan wanita dari seorang pria yang dicintainya; mengerti dan memahami. Itu saja.

Tuan, apakah diam yang aku simpan ini akan mengambang dalam ketidakjelasan? Jangan terlalu mengabaikanku Tuan, aku takut keadaanku akan berbalik di kamu pada suatu hari nanti. Diamku bukan hanya sekedar diam, melainkan agar Tuan sadar diri atas kesalahan yang Tuan perbuat.

Gadis Itu Bernama Amora

Adzan Magrib terdengar syahdu memecah keheningan. Banyak orang yang berlalu-lalang menuju ke masjid, tempat ternyaman, tersuci dan sejuk untuk memuntahkan segala ocehan kepadaNya. Rain sedang menunggu trans Jogja jalur 3A, Ia akan pulang malam ini. Biasanya Ia tak pernah pulang, pekerjaannya sebagai editor selalu menyita waktu untuk tidak pulang ke rumahnya. “Sepuluh menit lagi bus akan tiba di tempat”. kata sang petugas penunggu selter. Rain menyempatkan untuk shalat Magrib terlebih dahulu, Ia mencari masjid yang dekat dengan selter trans Jogja. Ketemu! Tepat di sebelah barat bank BCA jalan Mangkubumi. 
Selesai shalat, Rain kembali pada selter tadi, berjalan menulusuri jalan Mangkubumi. Jalanan tampak lengang, ditambah sinar senja yang masih merona di langitnya, seorang gadis terduduk di bangku hijau depan kantor counter XL. Rain tak sengaja melihatnya, ada rasa penasaran, entah dia memberhentikan langkahnya untuk melihat gadis itu. Terpasang sebuah headset di telinga kanan dan kirinya. Kepalanya menunduk, tampak sedang membaca sebuah buku mungil yang dipegangnya, rambutnya tampak berkibas-kibas akibat angin Mangkubumi yang berhembus kencang dan sengit. Disebelahnya, tampak sebuah buku tulis yang berceceran di bangku hijau. Gadis ini benar-benar unik, berkacamata dan berparas mungil, dia duduk sendirian. Menikmati panorama langit senja yang mulai menghitam.
“Ahsudahlah, aku harus balik ke selter secepatnya. Malam akan segera tiba dengan kepekatannya, aku harus sampai rumah sebelum Isya.” Rain mendesah pada hatinya sendiri.
Ia kembali pada selter tadi, sudah ketinggalan dua bus. Tak apa, bus akan segera tiba lima menit lagi. Rain masih terbayang-bayang oleh gadis tadi, sepertinya dia pernah melihat dan mengenalnya, tetapi otak tak bisa membantu merekam apa yang diinginkannya. Dalam selter itu, otak sudah dikuasai oleh gadis kacamata tadi, perasaan mulai tidak tenang dan membuncah dengan liar. 
Tepat adzan Isya berkumandang, Rain sudah sampai di rumah. Ibu sudah menyambutnya, senyum manis mengembang dengan tulus di sudut bibir. Menanti anaknya yang baru pulang ke rumah, Rain menatap lekat-lekat wajah ibunya, “Ibu, tak memeluk anak laki-lakimu yang baru pulang kerja ini?”
            “Anak ibu, sudah besar begini manjanya masih kelihatan.”
            “Ah Ibu, satu pelukan saja. Ya?”
Ibu dan anak saling merengkuhkan pelukan, begitu rindu yang hanya tertahan di hati kini bisa lepas dengan sebuah pelukan. 
Rain masuk ke kamarnya, merebahkan badan yang mulai renta karena digerogoti oleh pekerjaan kantor yang selalu menumpuk. Tiba-tiba, wajah gadis tadi bejalan-jalan kembali memenuhi pikiran, Rain kembali memikirkan gadis kacamata yang sedang duduk di bangku hijau jalan Mangkubumi. Perasaannya benar-benar berkecamuk, mulai tak tenang dengan gambaran wajah dari sang gadis. “Aku seperti sudah mengenalnya, tapi siapa?” Rain bertanya pada hatinya sendiri. 
Di  sudut kamar yang dingin. Rain membuka laptopnya, hendak mengecek sebuah email yang masuk untuk surat kabar tempat Ia bekerja. Surat pengemar, lagi-lagi wanita misterius dengan nama Lyra mengirimkan sebuah email untuk kolom surat pengemar di surat kabar tempat Rain bekerja. Setiap minggu sebuah surat kabar tempat Rain bekerja selalu menerima surat dari penggemar, entah dalam bentuk prosa, cerpen, ataupun kritik dan saran dari pengemar. Lyra, adalah salah satu penggemar yang selalu mengirimkan tulisannya dalam bentuk surat cinta. Surat cinta tersebut selalu ditujukan oleh pria yang bernama Rain. Rain, entah siapa tetapi sesosok laki-laki yang Lyra tulis disini mirip dengan ciri-ciri dirinya sendiri. Rain selalu penasaran dengan wanita ini, fotonya wajahnya selalu ditutupi oleh avatar yang dibuatnya sendiri. Jadi, Rain tak pernah tau seperti apa wajah wanita yang bernama Lyra ini.
***
            Hari libur merayap dengan cepat, Rain harus kembali ke kantornya lagi. Menyibukan diri dengan pekerjaan yang Ia geluti. Sesampainya di selter trans Jogja jalan Mangkubumi, Ia menoleh ke arah bangku hijau yang diduduki oleh gadis kacamata kemarin, tak ada. Bangku itu kosong, tak ada satu orang pun yang duduk disitu. 
Kantornya tepat di depan selter, begitu Ia masuk, ruangan sudah ramai dengan para pegawai lainnya, Ia memperhatikan setiap wajah yang tak terlalu asing baginya. Wajah-wajah lusuh tak bersemangat, padahal masih pagi. Mungkin mereka belum puas dengan liburan yang amat pendek.
Lagi-lagi hari ini Rain tidak pulang ke rumah, ia harus lembur malam ini. Banyak surat yang masuk dari penggemar, ia harus memilah-milah untuk di-edit. Surat Lyra selalu ia cantumkan, entah hasrat apa yang muncul, Rain selalu ingin memasukan tulisannya. Bukan karena penasaran, tapi tulisan-tulisannya benar-benar bagus, ia bisa mengintepretasikan sebuah kata menjadi lebih indah. “Mungkin dia anak sastra.” Rain bicara sendiri.
            Langit mulai menunjukan semburat oranye-nya. Panorama langit senja akan segera dimulai, tapi Rain masih sibuk dengan laptopnya. Di sudut ruangan yang remang-remang, ia duduk di kursi kerja, wajahnya sudah mulai lusuh. Rambutnya yang keriting tampak acak-acakan, kancing baju atasnya pun sudah dibuka satu. Ini ciri pekerja yang sudah kelelahan. Rain akan mencari udara segar sejenak, mencari sesuap nasi untuk dimakan malam ini.
Begitu keluar dari kantor Kedaulatan Rakyat, langit sudah memerah. Angin sepoi-sepoi menari-nari di udara. Jalanan Mangkubumi yang masih lengang, Rain berjalan menuju ke angkringan kopi joss dekat stasiun tugu. Hendak memenuhi kewajiban mengisi perut sebelum malam tiba lebih dulu.
Sesampainya di depan kantor XL, langkah Rain terhenti. Sesosok gadis kacamata yang dilihatnya kemarin sedang duduk manis di bangku besi memanjang. Bangku berwarna hijau. Kali ini dia sedang menulis, entah menulis apa di kedua telinganya selalu terpasang sebuah hedset kecil berwarna ungu. Rain berniat untuk mendekat, langkah kakinya berjalan menuju bangku hijau yang diduduki oleh gadis itu. Begitu duduk, Rain menoleh ke sisi kiri. Gadis itu sedang asyik menulis. Dari dekat gadis itu terlihat sangat anggun, wajahnya seperti boneka Barbie.
            “Hey” sebuah kata terpendek yang sederhana diucapkan oleh Rain.
            Gadis itu tak menoleh. Ia terpaku pada buku dan pena hitamnya. Lalu, Rain menengadahkan wajahnya, melihat sang gadis yang sedang asyik menulis.
            “Hey!” kata itu terlontar kembali dari mulut Rain.
            “Oh, hey maaf aku tak dengar.” Sambil melepaskan hedset yang terpasang di kedua telinganya, gadis itu akhirnya menoleh ke arah Rain.
            “Sendirian saja?”
            “Iya.” Jawab sang gadis singkat.
            “Kamu senang nongkrong disini ya tiap senja?”
            “Iya, Mas. Tiap senja aku selalu duduk disini, menunggu orang yang berjanji untuk menemuiku.”
            “Siapa? Pacarmu?”
            “Bukan, kita tidak jelas. Merasa saling memiliki tapi kita tak tau ini apa.”
            “Mengapa seperti itu?”
            Tatapan matanya menyentuh bola mata Rain yang membulat, “Rasa-rasanya aku sangat mengenali bola mata itu.” Rain berbicara dalam hati.
            “Dia tak pernah memberiku sebuah kepastian, aku tak pernah tau apa yang ia rasakan terhadapku, wanita hanya bisa menerka-nerka bukan? Dia adalah teka-teki yang punya banyak jawaban dan tafsiran.”
            “Lalu, dia berjanji apa terhadapmu?”
            “Sebelum Ia pindah di Jogja untuk bekerja, dia berjanji kepadaku. Akan menjemputku di stasiun tugu jika aku akan berkunjung di kota ini, dan dia berjanji akan memberikan sebuah jawaban yang selama ini hanya menggantung di udara. Mungkin, jawaban itu adalah sebuah kepastian. Aku selalu mengirimkan sebuah surat cinta ke kantor tempat ia bekerja, tapi sejak setahun yang lalu surat itu tak berbalas hingga aku sampai di Jogja untuk selalu menunggunya.
            “Kamu menunggu? Selama setahun ini? Apa itu tidak terlalu bodoh? Menunggu orang yang tak pasti dan kamu sudah diabaikan begitu?”
            “Apa yang bisa kulakukan selain menunggunya? Apakah salah wanita menunggu seseorang yang dicintainya? Apakah salah wanita tetap memperjuangkan orang yang Ia cintai meskipun sudah terabaikan?”
            “Memang sebelum pindah di Jogja, laki-lakimu itu tinggal dimana?”
            “Tangerang, Mas.”
            “Namanya siapa? Aku boleh tau?”
            “Apa kau lupa Rain? Aku Amora, gadis yang kauabaikan, gadis yang tiap minggu selalu mengirim surat cinta untukmu di tempat kerjamu?”
            Rain begitu kaget mendengar pengakuan dari gadis kacamata yang ada di sebelahnya. Ia memang tak asing jika melihat gadis ini. Tapi, ia tak bisa mengingat siapa gadis yang sedang marah-marah ini.
            “Kamu tau namaku? Apakah kamu yang bernama Lyra?”
            “Iya, aku Lyra Amora, Rain. Ada apa denganmu? Kau tak ingat aku? Mengapa jadi serumit ini?”
            Air mata mulai mengenang di pelipis matanya, wajahnya jadi memerah. Tampak raut kesedihan yang terpancar dari wajah mungilnya.
            “Maaf, aku memang merasa tak asing terhadapmu, tapi aku tak bisa mengingatmu kembali. Semenjak kecelakaan setahun yang lalu aku tak bisa mengingat orang satu persatu dengan mudah. Kepalaku terbentur oleh batu akibat kecelakaan itu.”
            “Rain, kamu amnesia?”
            Air mata mulai menetes di pipi tembemnya.
            “Iya, Mor. Maafkan aku tak bisa mengingatmu kembali.”
            “Aku ingin memberi tahu banyak hal kepadamu. Hal-hal yang mengganjal segenap rongga dadaku. Tapi, percuma jika kamu tak bisa mengingatnya.”
            “Maafkan aku Amora, pelan-pelan jika kamu akan membantu mengingatkan tentang semuanya, aku bersedia membuka hati untukmu. Aku akan terus mengenggam tanganmu.
           
Air mata yang tadinya hanya menetes menjadi mengalir dengan derasnya. Rain yang melihat itu segera membenarkan posisi duduknya, mendekatkan tubuhnya pada tubuh Amora. Amora bersandar pasrah di rongga dada Rain. “Aku selalu cemas menunggumu.” Lirih tanpa riuh, suara Amora menggamit resah. Senja yang begitu berarti kali ini, Rain jadi lupa tujuan dia kemari untuk makan di angkringan kopi joss.
END

Kekalahan

 

Kita kalah. Sudah terlalu kalah dan lelah. Bukan kita menyerah tapi kita memang sudah kalah, Tuan. Kita sama-sama sudah kalah pada suatu organ tubuh kita yang paling rentan dan sensitive; hati. Cerita lama kita yang sebabkan kekalahan itu ada. Kita kalah karena apa? Masa lalu kita? Iya, pada akhirnya kita masih bernafas pada sebuah masa lalu yang kelam, membuat kita tenggelam pada jurang yang dalam. Kamu masih terpaku pada seseorang di masa lalumu, dan aku pun begitu. Masa lalu yang kini mengabaikan kita, berusaha lupa tapi tak bisa. Iya, aku masih duduk pada ruang masa lalu, tapi ketahuilah Tuan aku tak sepenuhnya mengunjungi ruang masa laluku, karena aku tau ruangan itu sudah gelap. Tuan rumah yang ada di ruangan itu sudah mematikan lampu penerangannya. Dan aku pun tau, ada ruangan yang lebih terang daripada itu.

Tuan, taukah ruangan yang lebih terang itu apa? Ruang hatimu Tuan. Walaupun sesekali aku masih mengunjungi ruangan yang sudah gelap, ruangan yang terang adalah tujuanku melangkah. Aku mencoba melangkahkan kakiku agar aku tak terpeleset lagi. Ruangan yang gelap itu masih menjadi bayang-bayang tidur lelapku. Iya, kamu juga mengalami seperti itu kan Tuan? Pada masa lalumu yang hampir sama dengan masa laluku. Aku masih mengingat kata-katamu ketika kita mengungkit ini, “Bagaimana jika kita saling intropeksi dahulu?” katamu dengan suara parau. “Aku intropeksi diri, kamu juga intropeksi diri.”
Inikah yang disebut takdir? Tuan, haruskah kita berpeluh pada masa lalu kita masing-masing? Takdir selalu seperti ini bukan? Tanpa laporan dan ucapan permisi Ia datang menerjang tiap orang yang diinginkannya. Lalu, pantaskah kita mengeluh? Tidak. Ini sudah jalannya bukan? Untuk apa mengeluh pada takdir? Katamu hanya waktu yang bisa menjawabnya, tidak Tuan. Bukan seperti itu, yang bisa menjawab adalah diri kamu sendiri, waktu hanya sebagai alat perantara untuk menjawab semuanya.
Kita memang sudah kalah Tuan, kita tak mungkin bersama. Kekalahan kita berada di titik yang sama. Dua insan tidak akan menyatu jika kita mempunyai titik kekalahan yang sama. Bukankah nanti kita akan disebut pelarian saja? Cukup Tuan, kita benar-benar bodoh untuk masalah cinta. Aku terlalu bodoh untuk bisa memalingkan kamu dari masa lalumu, dan kamu juga terlalu bodoh untuk memalingkanku dari masa laluku untuk sepenuhnya. Tapi, bodoh tak selamanya buruk. Justru kebodohanlah yang menciptakan keterangan dalam kegelapan, terlihat memesona dalam ketersesatan. Hanya saja kita tak bisa mengartikan kebodohan kita, Tuan. 
Tuan, masih tahankah kamu berjuang pada masa lalumu yang sudah berdarah-darah begitu? Kamu bukan tahanan dari masa lalumu itu bukan? Tuan, akankah kamu terus-terusan masuk ke dalam terowongan yang tak punya ujung? Akankah kamu terus-terusan masuk ke dalam lingkaran yang tak kaukenali di setiap ujung-ujungnya? Akankah kamu cukup bangga dengan kekalahan tanpa perlombaan yang tak pasti? Kalau aku tidak, Tuan.